Nama : Rezki Apriyani
Kelas : 1PA04
Npm : 15510831
EPISTEMOLOGI PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD PERIODE KLASIK
A. Latar Belakang
Sepanjang dialektika manusia dalam masalah ilmu pengetahuan setelah renaissance, epistemologi selalu menjadi bahan diskusi, sekaligus bahan perdebatan yang tidak pernah habis. Rasionalisme yang memandang pengalaman inderawi hanya sebagai sejenis perangsang bagi pikiran, kemudian direspon oleh empirisme yang balik mengatakan bahwa akal hanya sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan.[1] Walaupun tidak sama sekali mengingkari peran akal maupun indera, pada intinya keduanya tetap berdebat masalah sumber pengetahuan. Rasionalisme dan empirisme kemudian mendapat respon dari Immanuel Kant dengan pengakuannya bahwa akal dan indera adalah sumber ilmu pengetahuan.
Perdebatan-perdebatan epistemologi tersebut tidak berakhir pada satu tahap atau didamaikan oleh aliran tertentu, karena ia tidak hanya berbicara masalah sumber, tetapi juga metode dan struktur (pola pikir tokoh atau aliran). Metode untuk menjadikan pengetahuan sebagai ilmu memuat syarat-syarat yang berfungsi menguji keabsahan ilmu. Syarat-syarat itu adalah bahan perdebatan yang menambah masalah epistemologi tidak pernah tuntas. Richard Rorty, yang pemikirannya diulas oleh I. Bambang Sugiharto adalah salah satu tokoh yang menyerang epistemologi dari sisi metode. Ia mengkritik bahwa metode rasionalisme adalah bentuk keanehan. Menurut rasionalisme, ilmu harus selalu merupakan persesuaian persis antara akal dan kenyataan luar. Untuk mencapai persesuaian, rasionalisme mengharuskan adanya refleksi yang mengkaji pendapat-pendapat yang dilakukan oleh akal sendiri. Pendapat-pendapat ditata secara betul sesuai dengan hubungan-hubungan yang jelas dan tegas. Seluruh prosedur tersebut dilakukan oleh akal. Artinya, keabsahan ilmu didasarkan pada akal.Otoritas akal itulah yang justru menjadikan upaya persesuaian pengetahuan antara akal dan kenyataan luar tidak tercapai. Subjektivitas adalah penentu sahihnya ilmu. Oleh karena itu, wajar jika empirisme mempermasalahkan subjektivitas rasionalisme.
Epistemologi adalah pemegang wewenang atas keabsahan ilmu. Pada waktu yang sama, wewenang epistemologi adalah “kekangan” bagi semua ilmu. Semua ilmu harus tunduk dan patuh terhadap epistemologi agar mendapat predikat sah. Dan konsekuensi terbesar bagi ilmu yang tidak patuh adalah claim ketidaksahihan. Konsekuensi tersebut berlaku bagi semua ilmu, tidak terkecuali psikologi.
August Comte tidak mengakui psikologi sebagai cabang ilmu, karena kajiannya adalah pengalaman batiniah,tidak dapat diindera, atau tidak terbukti (non-evident). Dari sisi sumber maupun metode, psikologi dikatakan tidak memiliki kesahihan. Tentu saja redikat tersebut menimbulkan “kegerahan” beberapa ilmuwan yang disebut ilmuwan psikologi. Johan Friedrich Herbart (1776-1841) kontan menulis A Texbook of Psychology dan Psychology is Science yang menegaskan bahwa psikologi adalah ilmu.Sayangnya, Herbart terjebak oleh tulisannya sendiri. Ia tetap tidak membantu psikologi menjadi diakui sebagai ilmu karena tidak pernah melakukan penelitian ilmiah, melainkan hanya spekulasi-spekulasi. Herbart gugur sebagai “bapak psikologi” sebab tidak mematuhi syarat-syarat ilmu pengetahuan. Psikologi baru diakui setelah Wilhelm Wund mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig, Jerman.Psikologi diakui sebagai ilmu karena memiliki laboratorium yang berfungsi mengukur fenomena-fenomena psikologis tidak tampak menjadi tampak. Jadi, psikologi mengembangkan pengukuran-pengukuran terhadap fenomena-fenomena psikologi agar mendapat predikat ilmu.
Jika psikologi pernah tidak diakui sebagai ilmu karena kuasa epistemologi, bagaimana dengan psikoanalisis. Jawabannya adalah tidak jauh berbeda dengan psikologi. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis hidup di masa August Comte (1798-1857) yang mengusung positivism.lengkap dengan epistemologi yang harus diberlakukan pada semua ilmu pengetahuan. Di tengah penghambaan ilmu pengetahuan terhadap positivisme, Freud mendapat nilai buruk. Epistemologinya diserang, sehingga dalam pengantar “Tafsir Mimpi” ia merasa perlu menegaskan bagaimana kedudukan epistemologi mimpi dalam pengetahuan ilmiah kontemporer.Dari kalangan psikologi sendiri pun tidak sedikit yang enggan menerima psikoanalisis. Bukti tersebut terlihat jelas dari paparan James D. Page yang mewakili para psikolog berikut ini;
The unwillingness of most psychologists to accept psychoanalysis fully has been explained on the grounds that Freudian concepts are based on subjective, nonscientific techniques that have no self-evident validity.
Ungkapan di atas secara jelas didasarkan pada sebuah ukuran epistemologi yang memiliki syarat-syarat tertentu. Psikoanalisis dianggap subjective, nonscientific, dan tidak memiliki validitas.
Pernyataan lain yang lebih tegas menyerang kecacatan asumsi yang dibangun Freud dalam menghasilkan teori adalah pernyataan;
“The Oedipus Complex is based on the faulty assumption that there is a fixed, uniform pattern of family life.”
Pernyataan-pernyataan di atas adalah gambaran riil bagaimana besarnya peran epistemologi dalam menilai ilmu pengetahuan. Dengan alasan itulah, penulis merasa perlu untuk mengetahui bagaimana epistemologi, yang dalam hal ini adalah epistemologi psikoanalisis Sigmund Freud sebagai salah satu aliran dalam ilmu yang sedang penulis tekuni.
B. Rumusan Masalah
Epistemologi didefinisikan sebagai cabang filsafat yang memperlajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan.Dengan mengacu pada definisi tersebut, maka kajian ini diarahkan pada ketiga unsur yang terdapat dalam epistemologi, yaitu:
Apa asal usul atau sumber yang digunakan Sigmund Freud untuk mendapatkan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik?
Bagaimana struktur berpikir Sigmund Freud untuk merumuskan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik?
Bagaimana metode Sigmund Freud untuk mendapatkan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik?
C. Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk memahami (to understand) dan menjelaskan (to explan):
1. Asal usul atau sumber yang digunakan Sigmund Freud untuk mendapatkan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik.
2. Struktur berpikir Sigmund Freud untuk merumuskan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik.
3. Metode Sigmund Freud untuk mendapatkan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik.
D. Manfaat Kajian
Kajian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan sebesar-besarnya bagi:
1. Penulis pribadi. Sampai saat ini penulis merasa belum memahami ilmu psikologi secara mendalam. Maka, kajian ini akan sangat bermanfaat untuk mencapai pemahaman mendalam tentang ilmu psikologi. Walaupun psikoanalisis hanya satu dari sekian banyak aliran psikologi dan tidak menjamin penguasaan seluruh ilmu psikologi, namun, menurut penulis pemahaman terhadap sesuatu secara mendalam lebih baik dari pada banyak, tetapi hanya setengah. Selain manfaat di atas, kajian ini sekaligus menjadi dasar bagi penulis untuk mengetahui kelebihan-kelebihan maupun kelemahan-kelemahan psikoanalisis. Metode kajian yang digunakan juga akan banyak melatih kemampuan penulis dalam menyekemakan dan menganalisis pemikiran ilmuwan. Pada tahap yang lebih lanjut kajian ini akan menjadi bekal keilmuan yang sangat penting dalam pendidikan yang lebih tinggi.
2. Ilmuwan, akademisi, psikolog maupun psikiatri dalam memahami psikoanalisis Sigmund Freud. Seluruh kalangan yang bergelut dalam psikoanalisis diharapkan mendapatkan bantuan pada hal yang lebih inti, yaitu epistemologi. Menurut penulis, kajian ini sangat berguna sebagai patokan dasar dalam mengembangkan ataupun mengkritisi psikoanalisis.
3. Disiplin ilmu filsafat. Filsafat adalah salah satu disiplin yang banyak bersentuhan langsung dengan psikologi. Satu hal yang sama antara filsafat dan psikologi adalah sama-sama membicarakan manusia. Freud juga tidak melepaskan diri dari filsafat. Ia mengaku sangat terbantu oleh pemikiran salah satu filsuf Jerman, Schopenhauer yang berusaha menjelaskan penyakit jiwa dalam bukunya “Dunia Sebagai Kehendak dan Ide”. Filsuf-filsuf modern seperti Michel Foucault dan Edward W. Said misalnya, banyak mengutip pemikiran Freud. Dengan demikian pemikiran Freud langsung bersentuhan dengan filsafat.
4. Mahasiswa psikologi. Psikoanalisis sebagai materi mata kuliah pokok dalam mempelajari keilmuan psikologi wajib didalami secara utuh. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka semakin besar tuntutan bagi mahasiswa untuk menguasai keilmuannya secara utuh, bukan setengah-setengah, apalagi hanya sekedar ingin tahu. Untuk itu kajian dalam skripsi ini dapat menjadi pelengkap dalam usaha memahami keilmuan psikologi.
E. Batasan Kajian
Banyaknya teori psikoanalisis dan perubahan-perubahan yang ada di dalamnya membuat penulis memberi batasan dalam kajian ini. Penulis membatasi hanya sampai pada periode pertama, yang selanjutnya disebut klasik. Pembedaan periode tersebut mengikuti pembedaan yang dilakukan Kees Bertens. Kees Bertens membagi pemikiran Freud menjadi tiga periode. Periode pertama (1895-1905) adalah periode merintis psikoanalisis sampai pada penemuan teori-teori mendasar. Pada periode ini Freud menghasilkan beberapa karya penting, yaitu Studies on Hysteria, The Interpretation of Dreams, Psychopathology of Everyday Life, Three Essays on the Theory of Sexuality, Jokes and Their Relation to The Unconscious, dan Dora Case. Periode kedua (1905-1920) adalah pendalaman teori psikoanalisis, dan periode ketiga (1920-1939) adalah periode revisi beberapa teori penting dalam psikoanalisis.Perubahan-perubahan tersebut memungkinkan terjadinya perubahan epistemologi. Kemungkinan itulah yang menurut penulis akan mempersulit fokus penelitian. Maka dari itu, penulis membatasi kajian ini hanya pada periode pertama (selanjutnya disebut klasik).
F. Sistematika Penulisan
Tugas ini akan dipecah menjadi lima bab. Bab I berisi latar belakang, yaitu alasan pentingnya mengangkat kajian ini, rumusan masalah, tujuan kajian, manfaat kajian, batasan kajian, sistematika penulisan, metode kajian, dan landasan teori. Bab II berisi riwayat hidup dan pemikiran Sigmund Freud.
Bab III mengulas secara spesifik teori psikoanalisis pada periode klasik. Bab IV merupakan jawaban rumusan masalah dalam kajian ini. Dan pada bab V adalah bagian kesimpulan dan saran.
G. Metode Kajian
1. Model Kajian
Kajian ini merupakan penelitian kepustakaan yang menggunakan model Historis Faktual, yaitu penulis mengikuti cara dan arah pikiran yang disajikan tokoh dalam naskah untuk mencari jawaban atas rumusan masalah.Jadi, penulis mengikuti kronologis historis Sigmund Freud dari awal ia memulai karir psikoanalisis hingga menghasilkan teori-teori psikoanalisis.
2. Langkah-langkah Kajian
a. Pengumpulan Data (literatur), baik sumber primer, sumber sekunder maupun sumber pelengkap. Sumber primer adalah karya-karya Freud pada periode klasik maupun di luar periode klasik yang menjelaskan atau menggambarkan epistemologi psikoanalisis pada periode klasik. Sumber-sumber yang dimaksud adalah, Sekelumit Sejarah Psikoanalisa (1986), Memperkenalkan Psikoanalisa: Lima Ceramah (1991), Tafsir Mimpi (2001), Teori Seks (2003a), Psikopatologi dalam Kehidupan Sehari-hari (2005), Pengantar Umum Psikoanalisis (2006). Sumber sekunder adalah karya orang lain yang menjelaskan atau menggambarkan epistemologi psikoanalisis pada periode klasik. Sedangkan sumber pelengkap adalah karya Freud dan karya orang lain yang tidak menjelaskan atau menggambarkan epistemologi psikoanalisis pada periode klasik (baik berupa buku, artikel, jurnal, atau tulisan dari internet yang bisa dipertanggungjawabkan). Secara spesifik, sumber pelengkap tidak berhubungan langsung dengan apa yang ingin ditemukan dalam rumusan masalah, misalnya sumber yang hanya menjelaskan riwayat hidup Freud.
b. Klasifikasi Data, yaitu pengklasifikasian pemikiran Freud berdasarkan periode. Hal ini dilakukan dengan mengacu pada batasan masalah, yaitu hanya sampai pada periode klasik.
c. Pengolahan Data.
Setelah pemikiran Freud pada periode klasik diketahui, maka data-data tersebut akan diolah dengan cara sebagai berikut:
1. Analisis, yaitu menelaah dan mengkaji data-data yang tersedia sehingga mendapatkan pemahaman tentang epistemologi psikoanalisis Sigmund Freud pada periode klasik.
2. Interpretasi, yaitu menyelami pemikiran-pemikiran Freud pada periode klasik secara mendalam yang sesuai dengan fokus penelitian, sehingga dapat ditangkap artinya.
3. Komparasi, yaitu membandingkan pendapat Freud yang ada di satu buku dengan pendapat yang ada di buku lain.
4. Menggunakan bahasa Inklusi atau Analogikal, yaitu peneliti mengikuti kaidah bahasa buku untuk teks literatur atau alur pikiran sesuai bahasa yang dipakai tokoh.
5. Deskripsi, penulis menguraikan secara teratur seluruh konsepsi yang ada di dalam literatur-literatur.
________________________________________
[1] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta, 1996), hal. 137, 139.
[2] Ibid, hal. 144.
[3] Richard Rorty, Conaequences of Pragmatism (Minneapolis, 1982) dalam I. Bambang Sugiharto, Posmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta, 1996), hal. 69-70.
[4] Asmadi Alsa, Pendekatan Kuantitatif & Kualitatif serta Kombinasi dalam Penelitian Psikologi: Satu Uraian Singkat dan Contoh Berbagai Tipe Penelitian (Yogyakarta, 2004), hal. 9.
[5] Ibid, hal. 10.
[6] Ibid.
[7] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogyakarta, 2006), hal. 24.
[8] Sigmund Freud, Tafsir Mimpi, terj, Apri Danarto, Ekandari Sulistyaningsih, Ervita (Yogyakarta, 2001), hal. 1-2.
[9] James D. Pages, Abnormal Psychology: Clinical Approach to Psychological Deviants (New Delhi, 1978), hal. 194.
[10] Ibid, hal. 193.
[11] Ali Mudhofir, Pengenalan Filsafat dalam Koento WibisonoSiswomihardjo, dkk. (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM), Filsafat Ilmu (Yogyakarta, 2003), hal. 32.
[12] Sigmund Freud (Jakarta, 1986), op. cit., hal. 12.
[13] Kees Bertens (pengantar) dalam Sigmund Freud (Jakarta, 1991), op. cit., hal. xx-xxxvi.
Periode kedua bisa disebut sebagai periode persinggungan Freud dengan sejarah, peradaban dan lain-lain, diantaranya adalah Totem and Taboo.
[14] Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta, 1996), hal. 103.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar