AKULTURASI DAN RELASI INTERNAKULTURAL
Pengertian Akulturasi dan Relasi Interkultural
Akuturasi adalah
perpaduan antara kebudayaan yang berbeda yang berlangsung dengan damai
dan serasi. Sedangkan Menurut Definisi lain menyatakan bahwa Akulturasi
merupakan sebuah istilah dalam ilmu Sosiologi yang berarti proses
pengambil alihan unsur-unsur (sifat) kebudayaan lain oleh sebuah
kelompok atau individu. Adalah suatu hal yang menarik ketika melihat
dan mengamati proses akulturasi tersebut sehingga nantinya secara
evolusi menjadi Asimilasi (meleburnya dua kebudayaan atau lebih,
sehingga menjadi satu kebudayaan). Menariknya dalam melihat dan
mengamati proses akulturasi dikarenakan adanya Deviasi Sosiopatik
seperti mental disorder yang menyertainya. Hal tersebut dirasa sangat
didukung faktor kebutuhan, motivasi dan lingkungan yang menyebabkan
seseorang bertingkah laku.
Akulturasi budaya dapat terjadi karena
keterbukaan suatu komunitas masyarakat akan mengakibatkan kebudayaan
yang mereka miliki akan terpengaruh dengan kebudayaan komunitas
masyarakat lain. Selain keterbukaan masyarakatnya, perubahan kebudayaan
yang disebabkan “perkawinan“ dua kebudayaan bisa juga terjadi akibat
adanya pemaksaan dari masyarakat asing memasukkan unsur kebudayaan
mereka. Akulturasi budaya bisa juga terjadi karena kontak dengan budaya
lain, system pendidikan yang maju yang mengajarkan seseorang untuk
lebih berfikir ilmiah dan objektif, keinginan untuk maju, sikap mudah
menerima hal-hal baru dan toleransi terhadap perubahan.
Sedangkan Pengertian Hubungan antar Budaya (relasi interkultural)
adalah Peristiwa yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi antar
budaya local maupun budaya asing contohnya : antar Budaya Jawa-sunda,
Sunda Minang, Jawa- Minang, Betawi – Jawa dan lain sebagainnya
Hubungan Tersebut di mungkinkan
dikarenakan karena adanya suatu kesatuan / perkelompok manusia yang
saling berhubungan dan terjadilah Akulturasi kebudayaan dan Asimilasi budaya dikarenakan adalah :
- Manusia mahluk yang Berbudaya karena memiliki akal, nurani dan Kehendak.
- Kebudayaan itu berasal dari bahasa sansekerta yang berartikan Budi dan Akal.
Kebudayaan adalah hasil dari cipta , rasa , dan karsa manusia.
- Manusia dan kebudayaan merupakan dwi tunggal karena keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, dimana ada sekelompok manusia/suatu organisasi maka di suatu organisasi/kelompok tersebut akan menghasikan kebudayaan masing-masing.
- Kebudayaan sangat berguna bagi masyarakat atau manusia untuk melindungi diri terhadap alam mengatur hubungan antara manusia dan sebagai wadah segenap perasaan manusia.
- Kebudayaan yang hidup dan berkembang pada suatu suku bangsa di setiap daerah disebut dengan kebudayaan lokal.
- Hubungan antar budaya dapat terjadi melalui : difusi dan akulturasi (percampuran antara 2 budaya atau lebih yang dapat menghasilkan budaya yg baru dan tanpa meninggalkan budaya yang lama atau sebelumnya).
- Unsur-unsur pokok atau inti inti suatu kebudayaan dapat dijumpai pada setiap kebudayaan di dunia maka itu dapat disebut dengan kebudayaan universal (cultural universal).
2. Bentuk-bentuk akulturasi dan Relasi Interkultural yang terjadi di Indonesia yaitu :
1. Seni Bangunan
Salah satu wujud akulturasi dari
peralatan hidup dan teknologi terlihat dalam seni bangunan Candi. Seni
bangunan Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi
keberadaan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang
ada di India, karena candi di Indonesia hanya mengambil unsur teknologi
perbuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab
Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk
untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan. Untuk itu dilihat dari
bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan. Bentuk
dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak, yang
merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang berfungsi
sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di
Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut.
Contoh :
- Candi Singasari adalah salah satu peninggalan kerajaan Singosari yang merupakan tempat dimuliakannya raja Wisnuwardhana yang memerintah tahun 1248 – 1268. Dilihat dari candi tersebut, bentuk dasarnya adalah punden berundak- undak dan pada bagian bawah terdapat kaki candi yang di dalamnya terdapat sumuran candi, di mana di dalam sumuran candi tersebut tempat menyimpan pripih (lambang jasmaniah raja Wisnuwardhana). Unsur Indonesia asli adalah Menhir, sedang unsur India Prasasti dan tiang untuk menambatkan binatang kurban.
- Lingga dan Yoni (lambang kesuburan). Unsur India adalah Lingga Yoni sedang unsur Indonesia asli adalah Alu dan Lumpang.
2. Seni rupa/Seni lukis
Unsur seni rupa dan seni lukis India
telah masuk ke Indonesia. Hal ini terbukti dengan ditemukannya patung
Budha berlanggam Gandara di kota Bangun, Kutai. Juga patung Budha
berlanggam Amarawati ditemukan di Sikendeng (Sulawesi Selatan). Pada
Candi Borobudur tampak adanya seni rupa India, dengan ditemukannya
relief-relief ceritera Sang Budha Gautama. Relief pada Candi Borobudur
pada umumnya lebih menunjukan suasana alam Indonesia, terlihat dengan
adanya lukisan rumah panggung dan hiasan burung merpati. Di samping
itu, juga terdapat hiasan perahu bercadik. Lukisan-lukisan tersebut
merupakan lukisan asli Indonesia, karena tidak pernah ditemukan pada
candi-candi yang terdapat di India. Juga relief pada Candi Prambanan
yang memuat cerita Ramayana. Relief dari candi Borobudur yang
menggambarkan Budha sedang digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi
gendang.
3. Seni sastra
Untuk wujud akulturasi dalam seni
sastra dapat dibuktikan dengan adanya suatu ceritera/ kisah yang
berkembang di Indonesia yang bersumber dari kitab Ramayana yang ditulis
oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang ditulis oleh Wiyasa. Kedua kitab
tersebut merupakan kitab kepercayaan umat Hindu. Tetapi setelah
berkembang di Indonesia tidak sama proses seperti aslinya dari India
karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam
bahasa Jawa kuno. Tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah
dengan hadirnya tokoh Punakawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan
Gareng.
4. Sistem Kalender
Diadopsinya sistem kalender atau
penanggalan India di Indonesia merupakan wujud dari akulturasi, yaitu
terlihat dengan adanya penggunaan tahun Saka, di Indonesia yang dimulai
tahun 78 M (merupakan tahun Matahari, tahun Samsiah) pada waktu raja
Kanishka I dinobatkan jumlah hari dalam 1 tahun ada 365 hari. Oleh
orang Bali, tahun Saka tidak didasarkan pada sistem Surya Pramana
tetapi sistem Chandra Pramana (tahun Bulan, tahun Kamariah) dalam 1
tahun ada 354 hari. Musim panas jatuh pada hari yang sama dalam bulan
Maret dimana matahari, bumi, bulan ada pada garis lurus. Hari tersebut
dirayakan sebagai Hari Raya Nyepi. Di samping itu, juga ditemukan
Candra Sangkala atau konogram dalam usaha memperingati peristiwa dengan
tahun atau kalender Saka. Candra Sangkala adala angka huruf berupa
susunan kalimat atau gambar kata. Contoh tahun Candra Sangkala adalah
“Sirna Ilang Kertaning Bumi” sama dengan 1400 (tahunsaka) dan sama
dengan 1478 Masehi. Tercipta kalender dengan sebutan tahun Saka ·
5. Bahasa
Penggunaan bahasa Sansekerta pada
awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis) peninggalan
kerajaan Hindu – Budha pada abad 5 – 7 M, contohnya prasasti Yupa dari
Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi untuk
perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta digantikan oleh bahasa
Melayu Kunoseperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan
Sriwijaya 7 – 13 M. Untuk aksara, dapat dibuktikan adanya penggunaan
huruf Pallawa, kemudian berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan
huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan melalui
Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno. Di kerajaan
Sriwijaya huruf Pallawa berkembang menjadi huruf Nagari.
3. Teori Komunikasi Antar Budaya
Philipsen (dalam Griffin, 2003)
mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi sosial dan pola simbol,
makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan secara
mensejarah. Pada dasarnya, budaya adalah suatu kode. Terdapat empat
dimensi krusial yang dapat untuk memperbandingkan budaya-budaya, yaitu:
1. Jarak kekuasaan (power distance) 2. Maskulinitas 3. Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) 4. Individualisme.
Berkenaan dengan pembahasan komunikasi antarbudaya, Griffin (2003) menyadur teori AnXiety/Uncertainty Management; Face-Negotiation; dan Speech Codes.
1. Anxiety/Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian).
Teori yang di publikasikan William
Gudykunst ini memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang
asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi
dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan. Ia
menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses
meminimalisir ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama.
Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan
ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada
situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi
yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada
ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat
afeksi- suatu emosi.
Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:
a. Konsep diri dan diri.
Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
b. Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk
di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan
menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.
c. Reaksi terhadap orang asing.
Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita
untuk memproses informasi yang kompleks tentang orang asing akan
menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara
tepat perilaku mereka.
Sebuah peningkatan untuk mentoleransi
ketika kita berinteraksi dengan orang asing menghasilkan sebuah
peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah
peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing.
Sebuah peningkatan berempati dengan
orang asing akan menghasilkan suatu peningkatan kemampuan memprediksi
perilaku orang asing secara akurat.
d. Kategori sosial dari orang asing.
Sebuah peningkatan kesamaan personal
yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing akan menghasilkan
peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan
memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman
perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing
mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok. Sebuah peningkatan
kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita
dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita
dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam
memperkrakan perilaku mereka.
e. Proses situasional.
Sebuah peningkatan di dalam situasi
informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan orang asing akan
menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan
rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka.
f. Koneksi dengan orang asing.
Sebuah peningkatan di dalam rasa
ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan
perilaku mereka. Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita
berbagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita
dan menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi
perilaku orang lain.
2. Face-Negotiation Theory.
Teori yang dipublikasikan Stella
Ting-Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan –perbedaan budaya dalam
merespon konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap
budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu adalah metaphor citra diri publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan
menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan,
dan kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang
membuat kita tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.
Teori ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:
a. Avoiding (penghindaran) – saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan saya dengan anggota kelompok.
b. Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota kelompok.
c. Compromising – saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat.
d. Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.
e. Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.
3. Speech Codes Theory.
Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech code
dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah
budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut:
a. Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas.
b. Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.
c. Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.
d. Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
e. Kegunaan suatu speech code
bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi,
menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas,
prudens (bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku komunikasi.