Logoterapi
1. Sejarah
Logoterapi dikemukakan oleh Viktor Emile Frankl. Frankl lahir pada
tanggal 26 Maret 1905 di Wina dari pasangan Gabriel Frankl dan Elsa
Frankl. Frankl yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dibesarkan
dalam keluarga yang religius dan berpendidikan. Ibunya seorang Yahudi
yang taat, dan Ayahnya merupakan pejabat Departemen Sosial yang banyak
menaruh perhatian pada kesejahteraan sosial. Frankl menaruh minat yang
besar terhadap persoalan spiritual, khususnya berkenaan dengan makna
hidup (Koeswara, 1992).
2. Pengertian
Logoterapi adalah bentuk penyembuhan melalui penemuan makna dan
pengembangan makna hidup, dikenal dengan therapy through meaning.
Bastaman (2007) menambahkan selain therapy through meaning, logoterapi
juga bisa disebut health through meaning. Logoterapi juga dapat
diamalkan pada orang-orang normal.
Dalam psikologi, logoterapi dikelompokkan dalam aliran eksistensial atau
Psikologi Humanistik. Logoterapi dapat dikatakan sebagai corak
psikologi yang memandang manusia, selain mempunyai dimensi ragawi dan
kejiwaan, juga mempunyai dimensi spiritual, serta beranggapan bahwa
makna hidup (the meaning of life) dan hasrat akan hidup bermakna (the
will to meaning) merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang
spiritual tidak selalu identik dengan agama, tetapi dimensi ini
merupakan inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup yang paling
tinggi (Bastaman, 2007).
Logoterapi mempunyai landasan filosofis yaitu: kebebasan berkeinginan,
keinginan akan makna, dan makna hidup (Koeswara, 1992). Dalam kebebasan
berkeinginan, Frankl memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan
berkeinginan dalam batas tertentu. Manusia tidaklah bebas dari
kondisi-kondisi fisik, lingkungan, dan psikologis, namun manusia
mempunyai kebebasan untuk mengambil sikap terhadap kondisi-kondisi
seperti itu. Keinginan akan makna merupakan motivasi utama manusia.
Frankl memandang bahwa kesenangan, bukanlah tujuan utama manusia. Ia
memandang bahwa kesenangan hanyalah efek dari pemenuhan dorongan dalam
mencapai tujuan yaitu makna hidup. Makna hidup dapat ditemukan dalam
keadaan apapun, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan.
Inti dari ajaran logoterapi adalah:
a. Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna.
b. Kehendak akan hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap manusia.
c. Dalam batasan-batasan tertentu manusia memiliki kebebasan dan
tanggung jawab pribadi untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan
tujuan hidupnya.
d. Hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai
kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai
penghayatan (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal
values).
3. Konsep Dasar Logoterapi
a. Makna Hidup (Meaning of Life)
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga
serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup terkait dengan
alasan dan tujuan dari kehidupan itu sendiri.
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), makna hidup bersifat objektif dan
berada di luar diri manusia. Makna hidup bukanlah sesuatu yang
merupakan hasil dari pemikiran idealistik dan hasrat-hasrat atau naluri
dari manusia. Makna hidup bersifat objektif dan berada di luar manusia
karena ia menantang manusia untuk meraihnya. Jika status objektif tidak
dimiliki oleh makna, maka makna tidak akan bersifat menuntut dan tidak
akan menjadi tantangan. Kekuasaan misalnya, bukanlah merupakan bagian
dari manusia itu sendiri, namun sesuatu yang berada di luar diri manusia
yang harus dicapai apabila sesorang menginginkannya. Begitu juga dengan
makna, apabila seseorang menginginkannya maka dia harus berusaha
menggapainya melalui usaha sendiri dan bukan merupakan pemberian dari
orang lain.
Makna hidup juga bersifat subjektif. Artinya makna hidup bersifat
pribadi dan berbeda pada setiap individu. Sesuatu yang bermakna bagi
sesorang bisa jadi tidak mempunyai makna apa-apa bagi orang lain.
Subjektivitas ini berasal dari fakta bahwa makna yang akan dan perlu
dicapai oleh individu adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya
dalam situasi tertentu. Setiap individu adalah unik, juga kehidupannya.
Kehidupan seseorang tidak bisa dipertukarkan dengan kehidupan seseorang
yang lainnya, juga perspektifnya. Dari masing-masing perspektifnyalah
setiap individu melihat dunia nilai-nilai.
Bastaman (2007) menyatakan bahwa makna hidup bersifat memberi pedoman
dan arah. Makna hidup memberikan sebuah arahan terhadap kegiatan dan
aktifitas keseharian dalam kehidupan sesorang. Makna hidup merupakan
sesuatu yang identik dengan tujuan, hal itu akan menjadi sebuah titik
tuju dalam kehidupan seseorang yang akan mengarahkan hidupnya dalam
rangka menuju titik tujuan tersebut. Begitu makna hidup ditemukan dan
tujuan hidup ditentukan, individu akan terpanggil untuk melaksanakan dan
memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan individu pun menjadi lebih terarah
kepada pemenuhan itu.
Makna hidup melampaui intelektualitas manusia. Makna hidup tidak bisa
hanya dicapai dengan usaha berpikir tanpa adanya usaha implementasi
dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui sesuatu yang bermakna bagi
kita perlu melalui proses intelektual. Namun, hal ini hanya merupakan
sebuah pengetahuan belaka dan tidak memberi makna, ketika kita tidak
menjalankan sebuah komitmen dan implementasi dari sesuatu yang kita
anggap bermakna tersebut.
Hal ini pula yang menyebabkan Frankl merumuskan bahwa sumber-sumber dari
makna hidup tidak hanya dicapai dengan sebatas usaha intelektual. Namun
makna hidup dapat dicapai dengan menerapkan nilai-nilai dalam
kehidupan. Nilai-nilai ini dianggap sebagai sumber makna hidup.
Nilai-nilai kehidupan yang dianggap sebagai sumber makna hidup antara
lain: nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai
bersikap (Booree, 2007).
b. Nilai-nilai Kreatif
Nilai-nilai kreatif merupakan nilai-nilai yang didapat dengan cara
beraktivitas secara langsung terhadap suatu pekerjaan yang bisa membawa
diri kita merasa bermakna. Pekerjaan ini tidak hanya terbatas pada
pekerjaan yang bersifat formal dan menghasilkan uang, namun juga
pekerjaan-pekerjan yang bersifat non-profit. Dalam sebuah pekerjaan,
Frankl menekankan bahwa apapun pekerjaan itu dapat memberikan makna
terhadap individu yang melakukannya.
Yang penting dalam aktivitas kerja bukanlah lingkup atau luasnya,
melainkan bagaimana seseorang bekerja sehingga dia bisa mengisi penuh
lingkaran aktivitasnya itu. Juga, tidak menjadi soal, apa bentuk
aktivitas itu dan siapa yang melaksanakannya. Rakyat kecil atau orang
kebanyakan yang secara sungguh-sungguh dan menjalankan tugas kongkret
yang memungkinkan diri dan keluarganya hidup, terlepas dari fakta bahwa
kehidupannya itu kecil, lebih besar dan lebih unggul dibanding dengan
seorang negarawan besar yang menentukan nasib jutaan orang dengan
goresan penanya, tetapi putusan-putusannya ceroboh dan membawa berbagai
akibat buruk.
Namun disini yang perlu ditekankan bahwa pekerjaan itu sendiri terlepas
dari makna, sehingga suatu pekerjaan tertentu tidak bisa menjamin
pemenuhan makna. Lagi-lagi semua itu tergantung pada seseorang yang
menjalaninya dan mempersepsi dari suatu pekerjaan itu. Dalam pembahasan
berkenaan dengan nilai-nilai kreatif ini banyak ditekankan pada hal
pekerjaan. Namun disini arah pembahasan Frankl tersebut lebih mengarah
pada bagaimana seseoarang berkarya yang dirasa bermanfaat dan bermakna
melalui pekerjaan yang dilakukan.
c. Nilai-nilai Penghayatan
Nilai-nilai penghayatan merupakan suatu kegiatan menemukan makna dengan
cara meyakini dan menghayati sesuatu. Sesuatu ini dapat berupa
kebenaran, kebajikan, keyakinan agama, dan keimanan. Frankl percaya
bahwa seseorang dapat menemukan makna dengan menemui kebenaran, baik
melalui keyakinan agama atau yang bersumber dari filsafat hidup yang
sekuler sekalipun. Keyakinan beragama merupakan salah satu dari berbagai
keyakinan yang dapat memberikan makna hidup.
Dalam keberagamaan orang dapat menemukan makna dan arti dalam
kehidupannya. Tidak sedikit orang yang mencurahkan seluruh kehidupannya
kepada agama. Selain itu orang-orang sekuler juga dapat menemukan makna
di luar hal-hal yang bersifat agama. Seperti orang-orang yang berwatak
sosialis, misalnya, mereka merasa menemukan makna dengan memahami
filsafat materialis dan mengamalkan ajarannya. Ada juga orang yang
dengan meyakini kebenaran-kebenaran universal dan menjalaninya seperti
menolong sesama dan menjadi pekerja-pekerja sosial.
d. Nilai-nilai Bersikap
Nilai ini merupakan sikap yang diambil terhadap sebuah penderitaan yang
tidak dapat dielakkan atau tak terhindarkan (inavoid moment). Hal ini
bisa dalam bentuk kematian seseorang yang dicintai, penyakit yang tak
dapat disembuhkan atau kecelakaan yang tragis. Dalam kehidupan
sehari-hari mungkin hal ini sama halnya dengan takdir yang dikenal dalam
masyrakat kita. Sikap-sikap yang dikembangkan dalam hal ini antara lain
menerima dengan ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk
penderitaan yang tidak dapat dielakkan.
Hal ini, menurut Frankl, bisa dilakukan karena manusia mempunyai
kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri (self detachment).
Dengan kemampuan ini manusia mampu menjadi hakim terhadap dirinya dan
akhirnya bisa menetukan sikap yang tepat terhadap apa yang menimpanya.
Ketika seseorang larut dalam sebuah keadaan tragis dan terus
meratapinya, Ia cendrung menjadi sebagai objek dari sebuah keadaan dan
tidak bisa melihat dan menarik diri serta menjadikan dirinya sebagai
subjek yang mengambil kebijakan dalam hidupnya. Karena dengan kemampuan
self detachment manusia bisa menjadi subjek sekaligus menjadi objek atas
semua perbuatannya.
e. Dimensi Manusia dalam Logoterapi
Logoterapi memandang manusia mempunyai dimensi spiritual, selain dimensi
fisik dan dimensi kejiwaan (Fabry, 1980). Dalam aliran-aliran psikologi
seperti psikoanalisa dan behavior, spiritualitas sangat diabaikan.
Psikoanalisa hanya menekankan pada aspek-aspek psikologis yang merupakan
wujud dari tuntutan kebutuhan jasmani. Sedangkan behavior menekankan
aspek fisik atau perilaku yang tampak.
Dalam pandangan logoterapi ketiga dimensi manusia ini (fisik,
psikologis, dan spiritual) tidak boleh diabaikan dalam rangka memahami
manusia seutuhnya. Dimensi spiritual dalam pandangan Frankl tidak selalu
identik dengan agama. Setiap orang mempunyai dimensi spiritual
sekalipun pada penganut atheis.
Dimensi spiritualitas dari manusia bersifat universal sebagaimana
dimensi fisik dan psikologis. Frankl juga menyebut dimensi spiritual ini
dengan “nootic” untuk menghindari term spiritual yang diidentikan
dengan agama tertentu. Dimensi spiritual ini merupakan dimensi khas
manusia dimana tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sebagai dimensi khas
manusia, dimensi spiritual (nootic) ini terdiri dari kualitas-kualitas
insani seperti hasrat akan makna, orientasi tujuan, iman, cinta kasih,
kretivitas, imaginasi, tanggung jawab, self transcendence, komitmen,
humor dan kebebasan dalam mengambil keputusan (Bastaman, 2007).
Kualitas-kualitas diatas memang merupakan kualitas insani yang khas
manusia. Dalam kajian psikologi behavior dan psikoanalisa, aspek-aspek
yang berkenaan dengan kualitas insani di atas tidak mendapatkan tempat.
Dengan tetap mempertahankan metode positivistic, kualitas insani manusia
terabaikan hanya dengan alasan bahwa aspek tersebut tidak termasuk
dalam kajian bidang keilmuan yang bersifat empiris dan objektif.
f. Sindroma Ketidakbermaknaan
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), seseorang yang tidak menemukan
makna hidup akan mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrom of
meaninglessness). Sindroma ini terdiri dari dua tahapan yaitu kevakuman
eksistensi (existential vacum) dan neurosis noogenik.
Kevakuman eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak
terpenuhi. Gejala-gejala yang ditimbulkan dari kevakuman eksistensial
ini antara lain perasaan hampa, bosan, kehilangan inisiatif, dan
kekosongan dalam hidup. Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol
pada masyarakat modern saat ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat
modern yang sudah terlalu jauh meninggalkan hal-hal yang bersifat religi
dan moralitas. Hal ini juga diakui para terapis yang berada di barat
bahwa mereka sering menghadapi pasien dengan keluhan-keluhan yang
menyangkut permasalahan yang terkait makna hidup seperti merasa tidak
berguna dan perasaan hampa.
Untuk menunjukkan kemunculan fenomena tersebut, Frankl (Koeswara, 1992)
menunjuk survei yang mengungkapkan bahwa 40% mahasiswa yang berasal dari
Jerman, Swiss, dan Austria mengaku mengalami perasaan absurd, ragu akan
maksud dan tujuan atau makna hidup mereka sendiri. Sedangkan para
mahasiswa yang berasal dari Amerika Serikat mengalami hal yang sama
dengan presentase 81%.
Frankl menekankan bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah
penyakit dalam pengertian klinis. Frankl menyimpulkan bahwa frustasi
eksistensi adalah sebuah penderitaan batin ketika pemenuhan akan hasrat
untuk mempunyai hidup yang bermakna terhambat. Frankl menyatakan bahwa
kevakuman eksistensial tersebut bermanifestasi dalam bentuk neurosis
kolektif, neurosis hari Minggu, neurosis pengangguran dan pensiunan, dan
penyakit eksekutif. Beberapa bentuk manifestasi ini gejalanya sama
yaitu kebosanan dan kehampaan, namun terdapat pada kondisi, individu dan
waktu tertentu.
Neurosis noogenik merupakan sebuah simptomatologi yang berakar kevakuman
eksistensialis. Frankl menerangkan bahwa neurosis ini terjadi apabila
kevakuman eksistensialis disertai dengan simptom-simptom klinis. Disini
permasalahan patologis tersebut berakar pada dimensi spiritual dan
noologis yang berbeda dengan neurosis somatogenik (neurosis yang berakar
pada fisiologis) maupun neurosis psikogenik (neurosis yang berakar pada
permasalahan psikologis. Menurut Frankl neurosis noogenik itu sendiri
dapat timbul dengan berbagai neurosis klinis seperti depresi,
hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan.
Orang yang mengalami kehampaan dan kekosongan hidup mungkin lari kepada
alkohol dan narkoba dalam rangka mengisi kekosongan hidup tersebut.
Kasus alkoholik dan narkoba yang berakar pada permasalahan kevakuman
eksistensialis inilah disebut dengan neurosis noogenik (Koeswara, 1990).
B. Terapi Logoterapi
1. Intensi Paradoksikal
Teknik intensi paradoksikal merupakan teknik yang dikembangkan Frankl
berdasarkan kasus kecemasan antispatori, yaitu kecemasan yang
ditimbulkan oleh antisipasi individu atas suatu situasi atau gejala yang
ditakutinya (Koeswara, 1992).
Intensi paradoksikal adalah keinginan terhadap sesuatu yang ditakuti.
Landasan dari intensi paradoksikal adalah kemampuan manusia untuk
mengambil jarak atau bebas bersikap terhadap dirinya sendiri (Boeree,
2007). Frankl (dalam Koeswara, 1992) mencatat bahwa pola reaksi atau
respon yang biasa digunakan oleh individu untuk mengatasi kecemasan
antisipatori adalah menghindari atau lari dari situasi yang menjadi
sumber kecemasan.
Contohnya, individu yang menghindari eritrofobia selalu cemas
kalau-kalau dirinya gemetaran dan mandi keringat ketika berada di dalam
ruangan yang penuh dengan orang. Kemudian, karena telah ada antisipasi
sebelumnya, individu benar-benar gemetaran dan mandi keringat ketika dia
memasuki ruangan yang penuh dengan orang. Individu pengidap eritrofobia
ini berada dalam lingkaran setan. Gejala gemetaran dan mandi keringat
menghasilkan kecemasan, kemudian kecemasan antisipatori ini menimbulkan
gejala-gejala gemetaran dan mandi keringat. Jadi gejala antisipatori
mengurung individu di dalam kecemasan terhadap kecemasan (Koeswara,
1992).
2. Derefleksi
Derefleksi merupakan teknik yang mencoba untuk mengalihkan perhatian
berlebihan ini pada suatu hal di luar individu yang lebih positif.
Derefleksi memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang ada pada
manusia. Dengan teknik ini individu diusahakan untuk membebaskan diri
dan tak memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk kemudian
lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan
bermanfaat. Dengan berusaha mengabaikan keluahannya, kemudian
mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala, kemudian
mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala hyper intention akan
menghilang (Bastaman, 2007).
Pasien dengan teknik ini diderefleksikan dari gangguan yang dialaminya
kepada tugas tertentu dalam hidupnya atau dengan perkataan lain
dikonfrontasikan dengan makna. Apabila fokus dorongan beralih dari
konflik kepada tujuan-tujuan yang terpusat pada diri sendiri, maka hidup
seseorang secara keseluruhan menjadi lebih sehat, meskipun boleh jadi
neurosisnya tidak hilang sama sekali.
3. Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani adalah metode yang khusus digunakan terhadap pada
penanganan kasus dimana individu berada pada penderitaan yang tidak
dapat terhindarkan atau dalam suatu keadaan yang tidak dapat dirubahnya
dan tidak mampu lagi berbuat selain menghadapinya (Koeswara, 1992).
Pada metode ini, individu didorong untuk merealisasikan nilai bersikap
dengan menunjukkan sikap positif terhadap penderitaanya dalam rangka
menemukan makna di balik penderitaan tersebut.
Selasa, 16 April 2013
Selasa, 02 April 2013
Person Centered Therapy
Terapi humanistik berkembang di Amerika Serikat pada
tahun 1950. Carl
Rogers mengusulkan bahwa terapi bisa lebih sederhana, lebih hangat dan lebih
optimis daripada yang dilakukan oleh psikolog perilaku atau psikodinamik.
Pandangannya berbeda tajam dari pendekatan psikodinamik dan perilaku dalam bahwa ia menyarankan bahwa klien akan lebih baik membantu jika mereka didorong untuk fokus pada pemahaman subyektif mereka ketimbang pada beberapa motif sadar atau seseorang interpretasi lain situasi.
Rogers sangat percaya bahwa agar kondisi klien untuk meningkatkan terapis harus hangat, tulus dan pemahaman. Titik awal dari pendekatan Rogerian untuk konseling dan psikoterapi yang terbaik dinyatakan oleh Rogers (1986) sendiri.
"Ini adalah bahwa individu memiliki dalam dirinya sendiri sumber daya yang luas untuk pemahaman diri, untuk mengubah nya konsep diri, sikap dan perilaku mengarahkan diri sendiri - dan bahwa sumber daya tersebut dapat dimanfaatkan jika hanya iklim didefinisikan sikap psikologis fasilitatif dapat diberikan. "
Rogers menolak sifat deterministik psikoanalisis dan behaviorisme baik dan dipelihara bahwa kita berperilaku seperti yang kita lakukan karena dari cara kita memandang situasi kita. "Karena tidak ada orang lain bisa tahu bagaimana kita memandang, kita adalah ahli terbaik pada diri kita sendiri." (Gross, 1992)
Percaya kuat bahwa teori harus keluar dari praktek daripada sebaliknya, Rogers mengembangkan teorinya didasarkan pada karyanya dengan orang-orang emosional bermasalah dan mengklaim bahwa kita memiliki kapasitas luar biasa untuk penyembuhan diri dan pertumbuhan pribadi mengarah pada aktualisasi diri. Dia menempatkan penekanan pada persepsi saat orang tersebut dan bagaimana kita hidup di sini-dan-sekarang.
Rogers memperhatikan bahwa orang cenderung untuk menggambarkan pengalaman mereka saat ini dengan merujuk kepada diri mereka sendiri dalam beberapa cara, misalnya, "Saya tidak mengerti apa yang terjadi" atau "Saya merasa berbeda dengan bagaimana saya digunakan untuk merasa".
Pusat untuk 'Rogers (1959) teori adalah gagasan tentang diri atau konsep diri. Ini didefinisikan sebagai "set, terorganisir konsisten persepsi dan keyakinan tentang diri sendiri". Ini terdiri dari semua ide dan nilai-nilai yang menjadi ciri 'I' dan 'saya' dan termasuk persepsi dan menilai dari 'apa yang saya' dan 'apa yang bisa saya lakukan'.
Akibatnya, konsep diri merupakan komponen utama dari total pengalaman kami dan mempengaruhi baik persepsi kita tentang dunia dan persepsi diri sendiri. Misalnya, seorang wanita yang memandang dirinya sebagai yang kuat juga dapat berperilaku dengan keyakinan dan datang untuk melihat tindakannya sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang percaya diri.
Konsep diri tidak harus selalu sesuai dengan kenyataan, meskipun, dan cara kita memandang diri sendiri mungkin sangat berbeda dari bagaimana orang lain melihat kita. Sebagai contoh, seseorang mungkin sangat menarik untuk orang lain dan menganggap dirinya belum menjadi membosankan. Dia hakim dan mengevaluasi gambar ini ia memiliki dirinya sebagai membosankan dan ini menilai akan tercermin dalam diri-nya. Wanita percaya diri mungkin memiliki harga diri yang tinggi dan orang yang melihat dirinya sebagai membosankan mungkin memiliki harga diri yang rendah, menganggap bahwa kekuatan / kepercayaan diri sangat dihargai dan bahwa menjadi membosankan tidak.
Orang Centered Therapy
Catatan: Orang terapi berpusat disebut juga client terapi berpusat.
Salah satu perbedaan utama antara konselor dan terapis humanistik lainnya adalah bahwa mereka merujuk kepada mereka dalam terapi sebagai 'klien', bukan 'pasien'. Hal ini karena mereka melihat terapis dan klien sebagai mitra sejajar dan bukan sebagai ahli mengobati pasien.
Tidak seperti terapi lain klien bertanggung jawab untuk meningkatkan hidupnya, bukan terapis. Ini adalah perubahan yang disengaja dari kedua psikoanalisis dan terapi perilaku dimana pasien didiagnosis dan diobati oleh dokter. Sebaliknya, klien sadar dan rasional memutuskan untuk diri mereka sendiri apa yang salah dan apa yang harus dilakukan tentang hal itu. Terapis adalah lebih dari seorang teman atau konselor yang mendengarkan dan mendorong pada tingkat yang sama.
Salah satu alasan mengapa Rogers (1951) dikeluarkan interpretasi adalah bahwa ia percaya bahwa, meskipun gejala tidak timbul dari pengalaman masa lalu, itu lebih berguna bagi klien untuk fokus pada masa sekarang dan masa depan dari pada masa lalu. Daripada hanya klien membebaskan dari sana masa lalu, sebagai terapis psikodinamik bertujuan untuk melakukan, Rogerians berharap dapat membantu klien mereka untuk mencapai pertumbuhan pribadi dan akhirnya untuk diri mengaktualisasikan.
Ada tidak adanya hampir total teknik dalam psikoterapi Rogerian karena karakter unik dari masing-masing hubungan konseling. Yang paling penting, bagaimanapun, adalah kualitas hubungan antara klien dan terapis. "Hubungan terapeutik ... adalah variabel penting, bukan apa terapis katakan atau lakukan."
Jika ada teknik mereka mendengarkan, menerima, memahami dan berbagi, yang tampak lebih sikap-berorientasi daripada keterampilan-berorientasi. Dalam (1991) pandangan Corey "keasyikan dengan menggunakan teknik terlihat [dari sudut pandang Rogerian] sebagai depersonalizing hubungan." Pendekatan yang berpusat pada klien Rogerian menempatkan penekanan pada orang yang datang untuk membentuk pemahaman yang tepat tentang dunia mereka dan diri mereka sendiri.
Seseorang memasuki terapi orang berpusat dalam keadaan ketidaksesuaian. Ini adalah peran terapis untuk membalikkan situasi ini. Rogers (1959) disebut pendekatan terapi nya terapi berpusat pada klien atau orang-berpusat karena fokus pada pandangan subyektif seseorang dunia.
Rogers dianggap setiap orang sebagai "individu yang berpotensi kompeten" yang bisa mendapatkan keuntungan yang besar dari wujudnya terapi. Tujuan terapi humanistik Roger adalah untuk meningkatkan perasaan seseorang harga diri, mengurangi tingkat ketidaksesuaian antara diri ideal dan aktual, dan membantu seseorang menjadi lebih dari orang yang berfungsi sepenuhnya.
Klien-tengah terapi beroperasi sesuai dengan tiga prinsip dasar yang mencerminkan sikap terapis untuk klien:
1. Terapis adalah sama dan sebangun dengan klien.
2. Terapis menyediakan klien dengan hal positif tanpa syarat.
3. Terapis menunjukkan pemahaman empati kepada klien.
Kongruensi dalam Konseling
Kongruensi juga disebut keaslian. Kongruensi adalah atribut paling penting dalam konseling, menurut Rogers. Ini berarti bahwa, tidak seperti terapis psikodinamik yang umumnya memelihara 'layar kosong' dan mengungkapkan sedikit kepribadian mereka sendiri dalam terapi, yang Rogerian sangat ingin untuk memungkinkan klien untuk mengalami mereka sebagaimana adanya. Terapis tidak memiliki façade (seperti psikoanalisis), yaitu, pengalaman terapis internal dan eksternal adalah satu dalam sama. Singkatnya, terapis itu asli.
Unconditional Positif Regard
Kondisi inti berikutnya Rogerian adalah hal positif tanpa syarat. Rogers percaya bahwa bagi orang untuk tumbuh dan memenuhi potensi mereka adalah penting bahwa mereka dihargai sebagai diri mereka sendiri. Hal ini mengacu pada kepedulian terapis mendalam dan tulus untuk klien. Terapis mungkin tidak menyetujui beberapa tindakan klien, tetapi terapis tidak menyetujui klien. Singkatnya, terapis perlu memiliki sikap "Saya akan menerima Anda seperti Anda." Konselor orang-berpusat demikian berhati-hati untuk selalu menjaga sikap positif kepada klien, bahkan ketika muak dengan tindakan klien.
Empati adalah kemampuan untuk memahami apa yang klien rasakan. Hal ini mengacu pada kemampuan terapis untuk memahami sensitif dan akurat [tapi tidak simpatik] pengalaman klien dan perasaan di sini-dan-sekarang. Bagian penting dari tugas konselor orang-berpusat adalah mengikuti persis apa yang klien rasakan dan mengkomunikasikan kepada mereka bahwa terapis mengerti apa yang mereka rasakan.
Dalam kata-kata Rogers (1975), pemahaman empatik yang akurat adalah sebagai berikut:
"Jika saya benar-benar terbuka untuk jalan kehidupan yang dialami oleh orang lain ... jika saya dapat mengambil nya atau dunia ke dalam tambang, maka saya melihat risiko hidup nya atau cara nya ... dan sedang berubah sendiri, dan kami semua menolak perubahan. Karena kita semua menolak perubahan, kita cenderung untuk melihat dunia orang lain hanya dalam hal kita, bukan dalam nya atau miliknya Kemudian kita menganalisis dan mengevaluasi.. Kami tidak mengerti dunia mereka. Tapi, ketika terapis tidak mengerti bagaimana benar-benar merasa berada di dunia orang lain, tanpa ingin atau mencoba untuk menganalisis atau menilai, maka terapis dan klien benar-benar bisa mekar dan tumbuh di iklim itu. "
Kesimpulan
Karena tempat konselor orang-berpusat begitu banyak penekanan pada keaslian dan dipimpin oleh klien, mereka tidak menempatkan penekanan yang sama pada batas-batas waktu dan teknik seperti yang akan terapis psikodinamik. Jika mereka menilai itu tepat, konselor orang-berpusat bisa menyimpang jauh dari teknik konseling ortodoks.
Seperti Mearns dan Thorne (1988) menunjukkan, kita tidak dapat memahami orang-berpusat konseling dengan teknik fiturnya saja. Konselor orang-berpusat memiliki pandangan yang sangat positif dan optimis sifat manusia. Filosofi bahwa orang pada dasarnya baik, dan bahwa pada akhirnya individu tahu apa yang benar bagi mereka, adalah unsur penting dari orang yang sukses berpusat terapi sebagai "semua tentang cinta".
Pandangannya berbeda tajam dari pendekatan psikodinamik dan perilaku dalam bahwa ia menyarankan bahwa klien akan lebih baik membantu jika mereka didorong untuk fokus pada pemahaman subyektif mereka ketimbang pada beberapa motif sadar atau seseorang interpretasi lain situasi.
Rogers sangat percaya bahwa agar kondisi klien untuk meningkatkan terapis harus hangat, tulus dan pemahaman. Titik awal dari pendekatan Rogerian untuk konseling dan psikoterapi yang terbaik dinyatakan oleh Rogers (1986) sendiri.
"Ini adalah bahwa individu memiliki dalam dirinya sendiri sumber daya yang luas untuk pemahaman diri, untuk mengubah nya konsep diri, sikap dan perilaku mengarahkan diri sendiri - dan bahwa sumber daya tersebut dapat dimanfaatkan jika hanya iklim didefinisikan sikap psikologis fasilitatif dapat diberikan. "
Rogers menolak sifat deterministik psikoanalisis dan behaviorisme baik dan dipelihara bahwa kita berperilaku seperti yang kita lakukan karena dari cara kita memandang situasi kita. "Karena tidak ada orang lain bisa tahu bagaimana kita memandang, kita adalah ahli terbaik pada diri kita sendiri." (Gross, 1992)
Percaya kuat bahwa teori harus keluar dari praktek daripada sebaliknya, Rogers mengembangkan teorinya didasarkan pada karyanya dengan orang-orang emosional bermasalah dan mengklaim bahwa kita memiliki kapasitas luar biasa untuk penyembuhan diri dan pertumbuhan pribadi mengarah pada aktualisasi diri. Dia menempatkan penekanan pada persepsi saat orang tersebut dan bagaimana kita hidup di sini-dan-sekarang.
Rogers memperhatikan bahwa orang cenderung untuk menggambarkan pengalaman mereka saat ini dengan merujuk kepada diri mereka sendiri dalam beberapa cara, misalnya, "Saya tidak mengerti apa yang terjadi" atau "Saya merasa berbeda dengan bagaimana saya digunakan untuk merasa".
Pusat untuk 'Rogers (1959) teori adalah gagasan tentang diri atau konsep diri. Ini didefinisikan sebagai "set, terorganisir konsisten persepsi dan keyakinan tentang diri sendiri". Ini terdiri dari semua ide dan nilai-nilai yang menjadi ciri 'I' dan 'saya' dan termasuk persepsi dan menilai dari 'apa yang saya' dan 'apa yang bisa saya lakukan'.
Akibatnya, konsep diri merupakan komponen utama dari total pengalaman kami dan mempengaruhi baik persepsi kita tentang dunia dan persepsi diri sendiri. Misalnya, seorang wanita yang memandang dirinya sebagai yang kuat juga dapat berperilaku dengan keyakinan dan datang untuk melihat tindakannya sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang percaya diri.
Konsep diri tidak harus selalu sesuai dengan kenyataan, meskipun, dan cara kita memandang diri sendiri mungkin sangat berbeda dari bagaimana orang lain melihat kita. Sebagai contoh, seseorang mungkin sangat menarik untuk orang lain dan menganggap dirinya belum menjadi membosankan. Dia hakim dan mengevaluasi gambar ini ia memiliki dirinya sebagai membosankan dan ini menilai akan tercermin dalam diri-nya. Wanita percaya diri mungkin memiliki harga diri yang tinggi dan orang yang melihat dirinya sebagai membosankan mungkin memiliki harga diri yang rendah, menganggap bahwa kekuatan / kepercayaan diri sangat dihargai dan bahwa menjadi membosankan tidak.
Orang Centered Therapy
Catatan: Orang terapi berpusat disebut juga client terapi berpusat.
Salah satu perbedaan utama antara konselor dan terapis humanistik lainnya adalah bahwa mereka merujuk kepada mereka dalam terapi sebagai 'klien', bukan 'pasien'. Hal ini karena mereka melihat terapis dan klien sebagai mitra sejajar dan bukan sebagai ahli mengobati pasien.
Tidak seperti terapi lain klien bertanggung jawab untuk meningkatkan hidupnya, bukan terapis. Ini adalah perubahan yang disengaja dari kedua psikoanalisis dan terapi perilaku dimana pasien didiagnosis dan diobati oleh dokter. Sebaliknya, klien sadar dan rasional memutuskan untuk diri mereka sendiri apa yang salah dan apa yang harus dilakukan tentang hal itu. Terapis adalah lebih dari seorang teman atau konselor yang mendengarkan dan mendorong pada tingkat yang sama.
Salah satu alasan mengapa Rogers (1951) dikeluarkan interpretasi adalah bahwa ia percaya bahwa, meskipun gejala tidak timbul dari pengalaman masa lalu, itu lebih berguna bagi klien untuk fokus pada masa sekarang dan masa depan dari pada masa lalu. Daripada hanya klien membebaskan dari sana masa lalu, sebagai terapis psikodinamik bertujuan untuk melakukan, Rogerians berharap dapat membantu klien mereka untuk mencapai pertumbuhan pribadi dan akhirnya untuk diri mengaktualisasikan.
Ada tidak adanya hampir total teknik dalam psikoterapi Rogerian karena karakter unik dari masing-masing hubungan konseling. Yang paling penting, bagaimanapun, adalah kualitas hubungan antara klien dan terapis. "Hubungan terapeutik ... adalah variabel penting, bukan apa terapis katakan atau lakukan."
Jika ada teknik mereka mendengarkan, menerima, memahami dan berbagi, yang tampak lebih sikap-berorientasi daripada keterampilan-berorientasi. Dalam (1991) pandangan Corey "keasyikan dengan menggunakan teknik terlihat [dari sudut pandang Rogerian] sebagai depersonalizing hubungan." Pendekatan yang berpusat pada klien Rogerian menempatkan penekanan pada orang yang datang untuk membentuk pemahaman yang tepat tentang dunia mereka dan diri mereka sendiri.
Seseorang memasuki terapi orang berpusat dalam keadaan ketidaksesuaian. Ini adalah peran terapis untuk membalikkan situasi ini. Rogers (1959) disebut pendekatan terapi nya terapi berpusat pada klien atau orang-berpusat karena fokus pada pandangan subyektif seseorang dunia.
Rogers dianggap setiap orang sebagai "individu yang berpotensi kompeten" yang bisa mendapatkan keuntungan yang besar dari wujudnya terapi. Tujuan terapi humanistik Roger adalah untuk meningkatkan perasaan seseorang harga diri, mengurangi tingkat ketidaksesuaian antara diri ideal dan aktual, dan membantu seseorang menjadi lebih dari orang yang berfungsi sepenuhnya.
Klien-tengah terapi beroperasi sesuai dengan tiga prinsip dasar yang mencerminkan sikap terapis untuk klien:
1. Terapis adalah sama dan sebangun dengan klien.
2. Terapis menyediakan klien dengan hal positif tanpa syarat.
3. Terapis menunjukkan pemahaman empati kepada klien.
Kongruensi dalam Konseling
Kongruensi juga disebut keaslian. Kongruensi adalah atribut paling penting dalam konseling, menurut Rogers. Ini berarti bahwa, tidak seperti terapis psikodinamik yang umumnya memelihara 'layar kosong' dan mengungkapkan sedikit kepribadian mereka sendiri dalam terapi, yang Rogerian sangat ingin untuk memungkinkan klien untuk mengalami mereka sebagaimana adanya. Terapis tidak memiliki façade (seperti psikoanalisis), yaitu, pengalaman terapis internal dan eksternal adalah satu dalam sama. Singkatnya, terapis itu asli.
Unconditional Positif Regard
Kondisi inti berikutnya Rogerian adalah hal positif tanpa syarat. Rogers percaya bahwa bagi orang untuk tumbuh dan memenuhi potensi mereka adalah penting bahwa mereka dihargai sebagai diri mereka sendiri. Hal ini mengacu pada kepedulian terapis mendalam dan tulus untuk klien. Terapis mungkin tidak menyetujui beberapa tindakan klien, tetapi terapis tidak menyetujui klien. Singkatnya, terapis perlu memiliki sikap "Saya akan menerima Anda seperti Anda." Konselor orang-berpusat demikian berhati-hati untuk selalu menjaga sikap positif kepada klien, bahkan ketika muak dengan tindakan klien.
Empati adalah kemampuan untuk memahami apa yang klien rasakan. Hal ini mengacu pada kemampuan terapis untuk memahami sensitif dan akurat [tapi tidak simpatik] pengalaman klien dan perasaan di sini-dan-sekarang. Bagian penting dari tugas konselor orang-berpusat adalah mengikuti persis apa yang klien rasakan dan mengkomunikasikan kepada mereka bahwa terapis mengerti apa yang mereka rasakan.
Dalam kata-kata Rogers (1975), pemahaman empatik yang akurat adalah sebagai berikut:
"Jika saya benar-benar terbuka untuk jalan kehidupan yang dialami oleh orang lain ... jika saya dapat mengambil nya atau dunia ke dalam tambang, maka saya melihat risiko hidup nya atau cara nya ... dan sedang berubah sendiri, dan kami semua menolak perubahan. Karena kita semua menolak perubahan, kita cenderung untuk melihat dunia orang lain hanya dalam hal kita, bukan dalam nya atau miliknya Kemudian kita menganalisis dan mengevaluasi.. Kami tidak mengerti dunia mereka. Tapi, ketika terapis tidak mengerti bagaimana benar-benar merasa berada di dunia orang lain, tanpa ingin atau mencoba untuk menganalisis atau menilai, maka terapis dan klien benar-benar bisa mekar dan tumbuh di iklim itu. "
Kesimpulan
Karena tempat konselor orang-berpusat begitu banyak penekanan pada keaslian dan dipimpin oleh klien, mereka tidak menempatkan penekanan yang sama pada batas-batas waktu dan teknik seperti yang akan terapis psikodinamik. Jika mereka menilai itu tepat, konselor orang-berpusat bisa menyimpang jauh dari teknik konseling ortodoks.
Seperti Mearns dan Thorne (1988) menunjukkan, kita tidak dapat memahami orang-berpusat konseling dengan teknik fiturnya saja. Konselor orang-berpusat memiliki pandangan yang sangat positif dan optimis sifat manusia. Filosofi bahwa orang pada dasarnya baik, dan bahwa pada akhirnya individu tahu apa yang benar bagi mereka, adalah unsur penting dari orang yang sukses berpusat terapi sebagai "semua tentang cinta".
Sumber :
Teori Psikologi humanistik Eksistensial
Psikologi
Eksistensial atau sekarang berkembang dengan nama psikologi Humanistik atau
psikologi holistic berawal dari kajian filsafat yang diawali dari Sorean
Kierkigard tentang eksistensi manusia. Sebelum psikologi modern membuka dirinya
pada pemikiran (school of thought) berbasis emosi dan spiritual yang
transenden, psikologi terlebih dahulu dipengaruhi oleh ide-ide humanistik.
Psikologi humanistik berpusat pada diri, holistik, terobsesi pada aktualisasi
diri, serta mengajarkan optimisme mengenai kekuatan manusia untuk mengubah diri
mereka sendiri dan masyarakat. Terdapat gerakkan eksistensialisme pada abad 19
yang dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Søren Kierkegaard. Dalil utama
dari eksistensialisme adalah keberadaan (existence) individual manusia
yang dialami secara subjektif
Istilah
eksistensi berasal dari akar kata ex-sistere, yang secara literal
berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah in hendak dikatakan oleh
para eksistensialis bahwa eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagai
kumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis,
melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai sesuatu yang “mengada”.
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang bersaha memahami kondisi manusia sebagaimana
memanifestasikan dirinya di dalam situasi-situasi kongkret. Kondisi manusia
yang dimaksud bukanlah hanya berupa ciri-ciri fisiknya (misalnya tubuh dan
tempat tinggalnya), tetapi juga seluruh momen yang hadir pada saat itu
(misalnya perasaan senangnya, kecemasannya, kegelapannya, dan lainnya). Manusia
eksistensial lebih sekedar manusia alam (suatu organisme/alam, objek) seperti
pandangan behaviorisme, akan tetapi manusia sebagai “subjek” serta manusia
dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yakni sebagai kesatuan
individu dan dunianya. Manusia tidak dapat dipisahkan sebagai manusia individu
yang hidup sendiri tetapi merupakan satu kesatuan dengan lingkungan dan
habitatnya secara keseluruhan. Manusia (individu) tidak mempunyai eksistensi
yang dipisahkan dari dunianya dan dunia tidak mungkin ada tanpa ada individu
yang memaknakannya. Individu dan dunia saling menciptakan atau
mengkonstitusikan (co-constitute). Dikatakan saling menciptakan
(co-constitutionality), karena musia dengan dunianya memang tidak bisa
dipisahkan satu dari yang lainnya. Tidak ada dunia tanpa ada individu, dan
tidak ada individu tanpa ada dunia. Individu selalu kontekstual, oleh karena
sebab itu tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia tempat eksistensi
manusia, melalui dunianyalah maka makna eksistensi tampak bagi dirinya dan
orang lain. Sebaliknya individu memberi makna pada dunianya, tanpa diberi makna
oleh individu maka dunia tidak ada sebagai dunia.
Psikologi
eksistensial adalah ilmu pengetahuan empiris tentang eksistensi manusia yang
menggunakan metode analisis fenomenologis. psikologi eksistensial bertentangan
dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu
pengetahuan alam dalam psikologi.
Asal
Muasal Psikologi Eksistensial dalam Psikologi
Tokoh
psikologi eksistensial yang terkenal adalah Ludwig Binswanger
(1881) dan Medard Boss (1903). Psikologi eksistensial menolak
konsep tentang kausalitas, dualisme antara jiwa dan badan, serta pemisahan
orang dari lingkungannya.
Ludwig
Binswager lahir pada tanggal 13 april 1881, di
Kreuzlingen, Swiss di tengah keluarga yang memiliki tradisi kedokteran dan
psikiatrik kuat. Kakeknya, yang namanya kecilnya juga Ludwig adalah pendiri
Belleuve Sanatorium di Kruezlingen pada tahun 1857. ayahnya Robert adalah
direktur Sanatorium tersebut. Pada tahun 1911, Binswanger diangkat menjadi
direktur medis Belleuve sanatorium.
Ludwig
meraih gelar sarjana kedokteran dari University of Zurich tahun1907. Dia
belajar dibawah bimbingan Carl Jung dan menjadi asistennya dalam Freudian
society. Seperti halnya Jung, dia juga lebih terpengaruh Eugen Bleuleur,
seorang psikiatri Swiss terkemuka. Dia adalah salah seorang pengikut pertama
Freud di Swiss. Pada awal 1920-an, Binswanger menjadi salah pelopor pertama dalam
menerapkan fenomenologi dalam psikiatri. Sepuluh tahun kemudian dia menjadi
seorang analisis eksistensial. Binswanger mendefinisikan analisis eksistensial
sebagai analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia yang actual.
Tujuannya adalah rekonstruksi dunia pengalaman batin.
Binswanger
adalah terapis pertama yang menekankan sifat dasar eksistensial dari tipe
krisis yang dialami pasien dalam pengalaman terapi. Binswanger pada dasarnya
berjuang untuk menemukan arti dalam penyakit gila dengan mnerjemahkan
pengalaman para pasien kedalam teori psikoanalisis. Setelah membaca pendekatan
filsafat Heidegger “Being in time” (1962), Binswanger menjadi lebih
eksistensial dan fenomenologis dalam pendekatannya kepada para pasien. Pada
tahun 1956, Binswanger berhenti menjadi direktur Sanatorium setelah menduduki
posisi tersebut selama 45 tahun. Dia terus melakukan studi dan menulis sampai
meninggal pada tahun 1966.
Sedangkan
Medard Boss lahir di St. Gallen, Swiss pada tanggal 4 oktober
1903. kemudian menghabiskan masa mudanya di Zurich pusat aktivitas psikologi
saat itu. Dia menerima gelar kedokteran university of Zurich pada tahun 1928.
kemudian melanjutkan studi ke Paris dan Wina serta membiarkan dirinya
dianalisis oleh S.Freud. Mulai tahun 1928, dia bergabung dengan Carl Jung yang
menunjukkan pada Boss kemungkinan lepasnya psikoloanalisis dari interpretasi
Freudian.
Dalam
masa-masa itu, Boss membaca karya-karya Ludwig Binswanger dan Martin Heidegger.
Pertemuannya dengan Heidegger pada tahun 1964 yang kemudian berlanjut dengan
persahabatannyalah yang membawanya kepada psikologi eksistensial. Pengaruh
dalam eksistensial sangat besar sehingga sering disejajarkan dengan Binswanger.
Konsep
dasar filsafat eksistensialistik sebagai kelompok ketiga menurut Blocher adalah
kerinduan manusia untuk mencari sesuatu yang penting, sesuatu yang bermakna
dalam dirinya. Sesuatu yang paling bermakna di dalam diri seseorang adalah
eksistensi dirinya. Perhatian yang lebih besar terhadap pribadi, terhadap
manusia daripada terhadap system yang formal. Konsep identitas menjadi sesuatu
yang perlu diperhatikan dalam kehidupan manusia. Mengenai ini, Beck (1963)
menyusun beberapa paham dasar sebagai konsep dasar falsafahnya yang diambil
sebagian besar dari filsafat eksistensialisme, sebagai berikut:
- Setiap pribadi bertanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatannnya sendiri.
- Orang harus menganggap orang lain sebagai obyek dari nilai-nilai sebagai bagian dari perhatiannya.
- Manusia berada dalam dunia realitas.
- Kehidupan yang bermakna harus terhindar sejauh mungkin dari ancaman, baik fisik maupun psikis.
- Setiap orang memiliki latar belakang keturunannya sendiri dan memperoleh pengalaman-pengalaman unik.
- Orang bertindak atas dasar pandangan terhadap realitasnya sendiri yang subyektif, tidak karena realitas yang obyektif di luar dirinya.
- Manusia tidak bisa digolongkan sebagai baik atau jahat dari asalnya (by nature).
- Manusia berreaksi sebagai kesatuan organisasi terhadap setiap situasi (Gunarsa, 1996:9-13).
Prinsip
Eksitensi dalam Psikologi
Psikologi
eksistensial tidak mengkonsepsikan perilaku sebagai akibat dari perangsangan
dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang individu bukanlah
mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang terdiri dari insting-insting,
kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan. Manusia memiliki kebebasan untuk
memilih, dan hanya ia sendiri yang bertanggungjawab terhadap eksistensinya.
Manusia dapat mengatasi baik lingkungan maupun badan fisiknya apabila ia memang
memilih begitu. Apa saja yang dilakukannya adalah pilihannya sendiri. Orang
sendirilah yang menentukan akan menjadi apa dia dan apa yang akan dilakukannya.
Lalu
apakah pengaruh eksistensialisme terhadap psikologi? Psikologi eksistensial ini
menjabarkan psikologi yang dilandaskan pada fakta primordial dari dunia pribadi
yang bermakna yang menjadi sasaran dari segenap aktivitas. Salah satu dalil
dasar yang mendasari psikologi eksistensial adalah setiap manusia unik dalam
kehidupan batinnya, dalam mempersepsi dan mengevaluasi dunia, dan dalam
bereaksi terhadap dunia. Perhatiannya adalah pada kesadaran, perasaan-perasaan,
suasana-suasana perasaan, dan pengalaman-pengalaman pribadi individual yang
berkaitan dengan keberadaan individualnya dalam dunia dan di antara sesamanya.
Intinya dari perspektif ini adalah melihat manusia secara keseluruhan sebagai
subjek.
Sebagaimana
tercermin dalam tulisan Binswanger dan Boss, psikologi eksistensial
bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari
ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Tidak ada hubungan sebab akibat
dalam eksistensial manusia, hanya ada rangkaian urutan tingkah laku tetapi
tidak bisa menurunkan kausalitas dari rangkaian tersebut. Sesuatu yang terjadi
pada seorang anak-anak bukan penyebab dari tingkah lakunya kemudian sebagai
seorang dewasa. Peristiwa yang terjadi mungkin memiliki makna eksistensi yang
sama akan tetapi tidak berarti peristiwa A menyebabkan peristiwa B. Psikologi
eksistensial mengganti konsep kausalitas dengan konsep motivasi.
Untuk
menjelaskan perbedaan antara sebab dan motif, Boss mencontohkan dengan jendela
yang tertutup oleh angin dan manusia. Angin menyebabkan jendela tertutup,
tetapi manusia termotif untuk menutup jendela karena ia tahu bahwa jika jendela
terbuka maka air hujan akan masuk. Karena prinsip kausalitas kurang relevan
dengan tingkah laku manusia dan sebaliknya motivasi dan pemahaman merupakan
prinsip-prinsip operatif dalam analisis eksistensial tingkah laku. (Hall,
Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993)
Struktur
Eksistensi Ada-di-Dunia (Dasein)
Merupakan
dasar fundamental dalam psikologi eksistensial. Seluruh struktur eksistensi
manusia didasarkan pada konsep ini. Ada-di-dunia (Dasein) adalah keseluruhan
eksistensi manusia, bukan merupakan milik atau sifat seseorang. Sifat dasar
dari Dasein adalah keterbukaannya dalam menerima dan memberikan respon
terhadap apa yang ada dalam kehadirannya. Manusia tidak memiliki eksistensi
terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki eksistensi terlepas dari manusia.
Dunia dimana manusia memiliki eksistensi meliputi 3 wilayah, yaitu:
Umweit
(dunia biologis, “lingkungan”)
Dunia
objek disekitar kita, dunia natural. Yang termasuk dalam umwelt diantaranya
kebutuhan-kebutuhan biologis, dorongan-dorongan, naluri-naluri, yakni dunia
yang akan terus ada, tempat dimana kita harus menyesuaikan diri. Akan tetapi umwelt
tidak diartikan sebagai “dorongan-dorongan” semata melainkan dihubungkan dengan
kesadaran-diri manusia.
Mitweit
(“dunia
bersama”)
Dunia
perhubungan antar manusia dengan manusia yang lain. Didalamnya terdapat
perhubungan antar berupa interaksi manusiawi yang mengandung makna. Dalam
perhubungan tersebut terdapat perasaan-perasaan seperti cinta dan benci yang
tidak pernah bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat biologis semata.
Eigenwelt
(“dunia
milik sendiri”)
Adalah
kesadaran diri, perhubungan diri dan secara khas hadir dalam diri manusia.
Ada-melampaui-Dunia
(kemungkinan-kemungkinan dalam manusia)
Analisis
eksistensial mendekati eksistensi manusia dengan tidak memakai pandangan lain
selain bahwa manusia ada di dunia, memiliki dunia, ingin melampaui dunia. Akan
tetapi, Binswanger tidak mengartikan ada-melampaui-dunia sebagai dunia lain
melainkan mau mengungkapkan begitu banyak kemungkinan yang dimiliki manusia
untuk mengatasi dunia yang disinggahinya dan memasuki dunia baru. Istilah
melampaui/mengatasi dunianya dikenal juga dengan transendensi yang merupakan
karakteristik khas dari eksistensi manusia serta merupakan landasan bagi kebebasan
manusia.
Karena
hanya dengan mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinan tersebut ia dapat
menjalani kehidupan yang otentik, apabila ia menyangkal atau membatasi
kemungkinan-kemungkianan yang penuh dari eksistensinya atau membiarkan dirinya
dikuasai oleh orang-oarang lain atau oleh lingkungannya, maka manusia itu hidup
dalam suatu eksistensi yang tidak otentik. Manusia bebas memilih salah satu
dari keduanya.
Dasar
Eksistensi
Manusia
dapat hidup dengan bebas, akan tetapi bukan berarti tanpa adanya batas-batas.
Salah satu batas adalah dasar eksistensi kemana orang-orang “dilemparkan”.
Kondisi “keterlemparan” ini, yakni cara manusia menemukan dirinya dalam dunia
yang menjadi dasarnya, merupakan nasibnya. Manusia harus hidup sampai nasibnya
berakhir untuk mencapai kehidupan yang otentik. Keterlemparan juga diartikan
sebagai keadaan diperdaya oleh dunia, dengan akibat orang-orang menjadi
terasing dari dirinya sendiri.
Rancangan
Dunia
Rancangan
dunia adalah istilah Binswanger untuk menyebut pola yang meliputi cara ada di
dunia seorang individu. Rancangan dunia seseorang menentukan cara bagaimana ia
akan bereaksi terhadap situasi-situasi khusus serta ciri sifat dan simpton
macam mana yang akan dikembangkannya.batas-batas dari rancangan tersebut
mungkin sempit, dan mengerut atau mungkin lebar dan meluas.
Binswanger
mengamati bahwa jika rancangan dunia dikuasai oleh sejumlah kecil kategori,
maka ancamannya akan lebih cepat dialami dibandingkan bila rancangan dunia
terdiri dari bermacam-macam kategori. Pada umumnya, orang memiliki lebih dari
satu rancangan dunia.
Cara-cara
Ada Dunia
Ada
banyak cara yang berbeda untuk ada di dunia, setiap cara merupakan Dasein memahami,
menginterpretasikan, dan mengungkap dirinya. Diantaranya, cara jamak (dengan
menjalin hubungan-hubungan formal, kompetisi, dan perjuangan), cara tunggal
(untuk dirinya sendiri), dan cara anonimitas (tenggelam di tengah orang
banyak). Biasanya orang tidak hanya memiliki satu cara eksistensi, tetapi
banyak.
Eksistensial
Boss
tidak berbicara tentang cara-cara ada di dunia dengan arti sama seperti yang
dikemukakan oleh Binswanger. Boss lebih membicarakan mengenai sifat-sifat yang
melekat pada eksistensi manusia, selain itu hal lain yang dibicarakan oleh Boss
adalah spasialitas eksistensi (keterbukaan dan kejelasan merupakan spasialitas
(tdk diartikan dalam jarak) yang sejati dalam dunia manusia), temporalitas
eksistensi (waktu (bkn jam) yang digunakan/dihabiskan manusia untuk….), badan
(ruang lingkup badaniah dalam pemenuhan eksistensi manusia), eksistensi dalam
manusia milik bersama (manusia selalu berkoeksistensi atau tinggal
bersama orang lain dalam dunia yang sama), dan suasana hati atau penyesuaian
(apa yang diamati dan direspon seseorang tergantung pada suasana hati saat
itu).
Dinamika
Eksistensi
Psikologi
eksistensial tidak mengkonsepsikan tingkah laku sebagai akibat dari perangsang
dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang individu bukanlah
mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang terdiri dari insting-insting,
kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan.
Akan
tetapi ia memiliki kebebasan untuk memilih dan hanya ia sendiri yang
bertanggung jawab terhadap eksistensinya. Apa saja yang dilakukannya adalah
pilihannya sendiri, orang sendirilah yang menentukan akan menjadi apa dia dan
apa yang akan dilakukannya.
Perkembangan
Eksistensi
Konsep
eksistensial perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang menjadi.
Eksistensi tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam proses menjadi
sesuatu yang baru, mengatasi diri sendiri. Tujuannya adalah untuk menjadi
manusia sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan Dasein.
Menjadi
orang dan menjadi dunia selalu berhubungan, keduanya merupakan mitra menjadi (co-becoming,
Strauss). Orang menyingkap kemungkinan-kemungkinan dari eksistensinya melalui
dunia, dan sebaliknya dunia tersingkap oleh orang yang ada di dalamnya.
Manakala bila yang satu tumbuh dan berkembang maka yang juga harus tumbuh dan
berkembang begitu pula sebaliknya apabila yang satu terhambat maka yang juga
terhambat. Bahwa kehidupan berakhir dengan kematian sudah merupakan fakta yang
diketahui oleh setiap orang.
Terapi
Inti
terapi eksistensial adalah hubungan antara terapi dengan kliennya. Hubungan ini
disebut pertemuan. Pertemuan adalah kehadiran asal satu Dasein kehadapan Dasein
yang lain, yakni sebuah “ketersingkapan” satu Dasein terhadap yang lainnya.
Berbeda dengan terapi-terapi formal, seperti terapi gaya Freud, atau
terapi-terapi yang “teknis”, seperti terapi gaya behavioris, para terapis
eksistensial sepertinya ingin terlibat intim dengan Anda. Saling beri dan
saling terima adalah bagian paling alami dari pertemuan, bukan untuk saling
menghakimi dan memojokkan. (Boeree, C.George, 2004)
Para
analasis eksistensial menyadari kompleksitas manusia yang mereka hadapi di
ruang-ruang praktek mereka. Mereka menyadari bahwa manusia bukan hanya
merupakan makhluk biologis atau fisik, melainkan juga sebagai makhluk yang unik
dan mempunyai kesadaran. Dengan perkataan lain, manusia tidak lain adalah tubuh
(organisme) yang berkesadaran. Oleh sebab itu, mereka beranggapan bahwa
pendekatan analisis eksistensial tentunya diperlukan, karena menwarkan
kejernihan analisis atas pasien-pasien mereka. Gejala manusia dan
pengalaman-pengalamannya tentu saja tidak bisa dikuantitafikasikan dan
digeneralisasi begitu saja. Perlu pengungkapan yang lebih spesifik. Analisis
eksistensial dianggap mampu melakukan tugas itu.
Dalam
analisis eksistensial yang dilakukan Binswanger sebagai metode baru yang
berbeda dari metode-metode yang ada sebelumnya, terlihat dalam kasus yang
ditanganinya yaitu kasus “Ellen West” yang merupakan salah seorang pasiennnya.
Binswanger mengadakan analisis fenomenologis mengenai tingkah lakunya dan
menggunakan penemuan-penemuan tersebut untuk merumuskan eksistensi atau
cara-cara ada-di-dunia pasien tersebut. Ia menyelidiki arsip-arsip di
Sanotarium dan memilih kasus seorang gadis muda, yang pernah berusaha untuk
melakukan bunuh diri. Kasus ini menarik karena selain buku harian,
catatan-catatan pribadi dan puisi-puisinya yang penuh pesona, juga karena
sebelum dirawat di sanotarium, ia telah dirawat lebih dari dua periode oleh
para psikoanalis dan selama di sanitarium ia telah menerima perawatan dari
Bleuler dan Kraepelin. Dalam analisis eksistensial (yang tekanannya lebih pada
terapi), Binswanger pertama-tama menganalisis asumsi-asumsi yang mendasari
hakekat manusia kemudian ia berhasil sampai pada pemahaman mengenai struktur
tempat diletakkannya segenap system terapeutik. (Zainal A., 2002)
Medard
Boss menggunakan analisis mimpi dalam terapinya terhadap seorang pasien yang
menderita obsesional-complusive. Pasien ini menderita kompulsi-kompulsi untuk
mencuci tangan dan membersihkan, ia sering bermimpi tentang menara-menara
gereja. Pasien ini sebelumnya telah menjalani analisa Freudian dan
menginterpretasikan isi mimpi tersebut sebagai simbol-simbol phalik serta
menjalani analisa Jungian yang menghubungkannya dengan simbol-simbol arketif religius. Dalam dengan Boss sang pasien menceritakan
tentang mimpi-mimpinya yang datang berulang-ulang seperti ia mendekati sebuah
pintu kamar mandi yang selalu terkunci. Boss menunjukkan dalam pembahasannya
tenang kasus itu bahwa pasien merasa bersalah, karena telah mengunci beberapa
potensi yang sangat penting dalam dirinya. Ia mengunci baik
kemungkinan-kemungkinan pengalaman badaniahnya maupun spiritualnya atau aspek
“dorongannya” dan aspek “tuhannya”, semua itu dilakukannya untk melarikan diri
dari semua masalah yang dihadapinya. Menurutnya pasien merasa bersalah bukan
semata-mata bahwa ia mempunyai rasa bersalah. Pasien tidak menerima dan tidak
memasukkan kedua aspek tersebut ke dalam eksistesinya, maka ia merasa bersalah
dan berhutang pada dirinya. Pemahaman mengenai rasa bersalah tidak ada
hubungannya dengan sikap menilai (“judgmental attitude”), yang perlu dilakukan
hanyalah memperhatikan kehidupan dan pengalaman pasien secara sungguh-sungguh
dan penuh rasa hormat.
Pandangan
Islam tentang Eksistensi Manusia
“Sungguh
kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia
mendengar dan melihat. Sungguh kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang
lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Al-Insan : 2-3)
Berbicara
mengenai eksistensi manusia yang dalam hal ini psikologi eksistensial terdapat
beberapa hal yang memiliki kesamaan dengan yang diajarkan dalam Islam. Seperti
yang terdapat pada ayat diatas, dapat kita ambil makna bahwa sesungguhnya
manusia diberikan kebebasan untuk memilih kebaikan ataupun keburukkan untuk
hidup yang jelas Allah SWT telah memberikan petunjuk yang benar dan lurus,
apabila kemudian mereka (manusia) mau bersyukur ataupun kufur tergantung kepada
manusia itu sendiri. Karena Allah SWT telah memberikan potensi-potensi kepada
manusia untuk dikembangkan dan digunakan sebaik-baiknya. Dalam memandang
kebebasan menusia untuk berbuat sesuatu untuk hidupnya psikologi eksistensi
juga mengungkapkan hal tersebut, manusia akan hidup dalam eksistensinya
walaupun dengan pilihan hidup yang otentik dan tidak otentik manusia itu
sendiri juga yang memilihnya. Namun ada hal yang tidak dapat ditemukan oleh
pemakalah dalam eksistensi manusia itu sendiri. Yaitu dari mana manusia itu
berasal sehingga bisa menjadi ada-di-dunia atau disebut Dasein. Manusia
tidak memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki
eksistensi terlepas dari manusia. Tidak ada penjelasan bagaimana manusia dan
dunia bisa ada. Kami memang menemukan aspek “tuhan” serta ‘spiritual’ pada
analisa mimpi yang dilakukan oleh Boss akan tetapi penjelasan aspek tersebut
tidak ditemukan. Seolah-olah manusia dan dunia muncul dengan begitu saja
kemudian manusia itu menyadari keberadaannya maka dia ‘ada’. Sedangkan dalam
ayat diatas jelas manusia diciptakan dari setetes mani yang bercampur oleh
Allah SWT.
Begitu
pula dalam surat Ar-Rahman ayat 4, “ Dia menciptakan manusia” serta pada
ayat 7&10, “Dan langit telah ditingggikan-Nya dan Dia ciptakan
keseimbangan.(7) Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya.(10)”.
Bahwa manusia dan dunia adalah hasil ciptaan Allah SWT. dan tidak begitu saja
ada. Memang dalam teori in terdapat konsep transendensi, akan tetapi pengertian
transendensi disini menekankan pada cara manusia untuk melampaui/mengatasi
permasalahan dunianya.
Kelemahan
dalam Psikologi Eksistensial
Salah
satu kritik terhadap psikologi eksistensial adalah ketika psikologi telah
diperjuangkan untuk dapat membebaskan diri dari dominasi filsafat, justru
psikologi eksistensial secara terang-terangan menyatakan kemuakkannya terhadap
positivisme dan determinisme. Para psikolog di Amerika yang telah
memperjuangkan kemerdekaan psikologi dari filsafat jelas menentang keras segala
bentuk hubungan baru dengan filsafat. Banyak psikolog merasa bahwa psikologi
eksistensial mencerminkan suatu pemutusan yang mengerikan dengan jajaran ilmu
pengetahuan, karena itu membahayakan kedudukan ilmu psikologi yang telah
diperjuangkan dengan begitu susah payah.
Salah
satu konsep eksistensial yang paling ditentang oleh kalangan psikologi “ilmiah”
ialah kebebasan individu untuk menjadi menurut apa ynag diinginkannya. Jika
benar, maka konsep in sudah pasti meruntuhkan validitas psikologi yang
berpangkal pada konsepsi tengtang tingkah laku yang sangat deterministic.
Karena jika manusia benar-benar bebas menentukan eksistensinya, maka seluruh
prediksi dan control akan menjadi mustahil dan nilai eksperimen menjadi sangat
terbatas. (Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993)
Banyak
psikolog dan sarjana psikologi baik dalam maupun luar negeri mempertanyakan
keberadaan analisis eksistensial. Yang mereka pertanyakan menyangkut
dasar-dasar ilmiah dari analisis eksistensial. Psikologi sebagai ilmu telah
lama diupayakan untuk melepaskan diri dan berada jauh dari filsafat. Psikologi
harus merupakan suatu science (ilmu pasti alami) yang independent. Padahal,
analisis eksistensial mengeritik ilmu (science) dan mengambil manfaat dari
filsafat (fenomenologi dan eksistensialisme). Atas dasar itu, banyak sarjana
psikologi yang bertanya, apakah analisis eksistensial relevan dengan
perkembangan ilmu psikologi modern?
Jawaban
atas pertanyaan itu tergantung pada pemahaman kita tentang manusia. Siapakah
atau apakah manusia itu? Apakah manusia pada dasarnya hanya merupakan bagian
dari organisme dan atau dari materi (aspek fisik kehidupan)? Jika kita memahami
manusia sebgaimana para behavioris atau psikoanalis memahaminya, yakni bahwa
manusia pada dasarnya merupakan bagian dari organisme atau materi, maka
analisis eksistensial tampaknya tidak diperlukan. Cukup dengan pendekatan
kuantitatif dan medis, dengan eksperimen dan pembedahan otak musia, maka kita
sudah cukup mampu memahami dan menyembuhkan individu (manusia) yang bermasalah
(patologis). Namun, dalam praktek atau kenyataan, kita menyaksikan bahwa
manusia ternyata jauh lebih kompleks dari sekedar organisme dan materi. (Zainal
A., 2002)
Sumber :
Langganan:
Postingan (Atom)