Selasa, 16 April 2013

 Logoterapi

1. Sejarah
Logoterapi dikemukakan oleh Viktor Emile Frankl. Frankl lahir pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina dari pasangan Gabriel Frankl dan Elsa Frankl. Frankl yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dibesarkan dalam keluarga yang religius dan berpendidikan. Ibunya seorang Yahudi yang taat, dan Ayahnya merupakan pejabat Departemen Sosial yang banyak menaruh perhatian pada kesejahteraan sosial. Frankl menaruh minat yang besar terhadap persoalan spiritual, khususnya berkenaan dengan makna hidup (Koeswara, 1992).

2. Pengertian
Logoterapi adalah bentuk penyembuhan melalui penemuan makna dan pengembangan makna hidup, dikenal dengan therapy through meaning. Bastaman (2007) menambahkan selain therapy through meaning, logoterapi juga bisa disebut health through meaning. Logoterapi juga dapat diamalkan pada orang-orang normal.
Dalam psikologi, logoterapi dikelompokkan dalam aliran eksistensial atau Psikologi Humanistik. Logoterapi dapat dikatakan sebagai corak psikologi yang memandang manusia, selain mempunyai dimensi ragawi dan kejiwaan, juga mempunyai dimensi spiritual, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat akan hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang spiritual tidak selalu identik dengan agama, tetapi dimensi ini merupakan inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup yang paling tinggi (Bastaman, 2007).
Logoterapi mempunyai landasan filosofis yaitu: kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna, dan makna hidup (Koeswara, 1992). Dalam kebebasan berkeinginan, Frankl memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan berkeinginan dalam batas tertentu. Manusia tidaklah bebas dari kondisi-kondisi fisik, lingkungan, dan psikologis, namun manusia mempunyai kebebasan untuk mengambil sikap terhadap kondisi-kondisi seperti itu. Keinginan akan makna merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang bahwa kesenangan, bukanlah tujuan utama manusia. Ia memandang bahwa kesenangan hanyalah efek dari pemenuhan dorongan dalam mencapai tujuan yaitu makna hidup. Makna hidup dapat ditemukan dalam keadaan apapun, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan.
Inti dari ajaran logoterapi adalah:
a. Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna.
b. Kehendak akan hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap manusia.
c. Dalam batasan-batasan tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan tujuan hidupnya.
d. Hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai penghayatan (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).
3. Konsep Dasar Logoterapi
a. Makna Hidup (Meaning of Life)
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup terkait dengan alasan dan tujuan dari kehidupan itu sendiri.
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), makna hidup bersifat objektif dan berada di luar diri manusia. Makna hidup bukanlah sesuatu yang merupakan hasil dari pemikiran idealistik dan hasrat-hasrat atau naluri dari manusia. Makna hidup bersifat objektif dan berada di luar manusia karena ia menantang manusia untuk meraihnya. Jika status objektif tidak dimiliki oleh makna, maka makna tidak akan bersifat menuntut dan tidak akan menjadi tantangan. Kekuasaan misalnya, bukanlah merupakan bagian dari manusia itu sendiri, namun sesuatu yang berada di luar diri manusia yang harus dicapai apabila sesorang menginginkannya. Begitu juga dengan makna, apabila seseorang menginginkannya maka dia harus berusaha menggapainya melalui usaha sendiri dan bukan merupakan pemberian dari orang lain.
Makna hidup juga bersifat subjektif. Artinya makna hidup bersifat pribadi dan berbeda pada setiap individu. Sesuatu yang bermakna bagi sesorang bisa jadi tidak mempunyai makna apa-apa bagi orang lain. Subjektivitas ini berasal dari fakta bahwa makna yang akan dan perlu dicapai oleh individu adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya dalam situasi tertentu. Setiap individu adalah unik, juga kehidupannya. Kehidupan seseorang tidak bisa dipertukarkan dengan kehidupan seseorang yang lainnya, juga perspektifnya. Dari masing-masing perspektifnyalah setiap individu melihat dunia nilai-nilai.
Bastaman (2007) menyatakan bahwa makna hidup bersifat memberi pedoman dan arah. Makna hidup memberikan sebuah arahan terhadap kegiatan dan aktifitas keseharian dalam kehidupan sesorang. Makna hidup merupakan sesuatu yang identik dengan tujuan, hal itu akan menjadi sebuah titik tuju dalam kehidupan seseorang yang akan mengarahkan hidupnya dalam rangka menuju titik tujuan tersebut. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, individu akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan individu pun menjadi lebih terarah kepada pemenuhan itu.
Makna hidup melampaui intelektualitas manusia. Makna hidup tidak bisa hanya dicapai dengan usaha berpikir tanpa adanya usaha implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui sesuatu yang bermakna bagi kita perlu melalui proses intelektual. Namun, hal ini hanya merupakan sebuah pengetahuan belaka dan tidak memberi makna, ketika kita tidak menjalankan sebuah komitmen dan implementasi dari sesuatu yang kita anggap bermakna tersebut.
Hal ini pula yang menyebabkan Frankl merumuskan bahwa sumber-sumber dari makna hidup tidak hanya dicapai dengan sebatas usaha intelektual. Namun makna hidup dapat dicapai dengan menerapkan nilai-nilai dalam kehidupan. Nilai-nilai ini dianggap sebagai sumber makna hidup.
Nilai-nilai kehidupan yang dianggap sebagai sumber makna hidup antara lain: nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap (Booree, 2007).
b. Nilai-nilai Kreatif
Nilai-nilai kreatif merupakan nilai-nilai yang didapat dengan cara beraktivitas secara langsung terhadap suatu pekerjaan yang bisa membawa diri kita merasa bermakna. Pekerjaan ini tidak hanya terbatas pada pekerjaan yang bersifat formal dan menghasilkan uang, namun juga pekerjaan-pekerjan yang bersifat non-profit. Dalam sebuah pekerjaan, Frankl menekankan bahwa apapun pekerjaan itu dapat memberikan makna terhadap individu yang melakukannya.
Yang penting dalam aktivitas kerja bukanlah lingkup atau luasnya, melainkan bagaimana seseorang bekerja sehingga dia bisa mengisi penuh lingkaran aktivitasnya itu. Juga, tidak menjadi soal, apa bentuk aktivitas itu dan siapa yang melaksanakannya. Rakyat kecil atau orang kebanyakan yang secara sungguh-sungguh dan menjalankan tugas kongkret yang memungkinkan diri dan keluarganya hidup, terlepas dari fakta bahwa kehidupannya itu kecil, lebih besar dan lebih unggul dibanding dengan seorang negarawan besar yang menentukan nasib jutaan orang dengan goresan penanya, tetapi putusan-putusannya ceroboh dan membawa berbagai akibat buruk.
Namun disini yang perlu ditekankan bahwa pekerjaan itu sendiri terlepas dari makna, sehingga suatu pekerjaan tertentu tidak bisa menjamin pemenuhan makna. Lagi-lagi semua itu tergantung pada seseorang yang menjalaninya dan mempersepsi dari suatu pekerjaan itu. Dalam pembahasan berkenaan dengan nilai-nilai kreatif ini banyak ditekankan pada hal pekerjaan. Namun disini arah pembahasan Frankl tersebut lebih mengarah pada bagaimana seseoarang berkarya yang dirasa bermanfaat dan bermakna melalui pekerjaan yang dilakukan.
c. Nilai-nilai Penghayatan
Nilai-nilai penghayatan merupakan suatu kegiatan menemukan makna dengan cara meyakini dan menghayati sesuatu. Sesuatu ini dapat berupa kebenaran, kebajikan, keyakinan agama, dan keimanan. Frankl percaya bahwa seseorang dapat menemukan makna dengan menemui kebenaran, baik melalui keyakinan agama atau yang bersumber dari filsafat hidup yang sekuler sekalipun. Keyakinan beragama merupakan salah satu dari berbagai keyakinan yang dapat memberikan makna hidup.
Dalam keberagamaan orang dapat menemukan makna dan arti dalam kehidupannya. Tidak sedikit orang yang mencurahkan seluruh kehidupannya kepada agama. Selain itu orang-orang sekuler juga dapat menemukan makna di luar hal-hal yang bersifat agama. Seperti orang-orang yang berwatak sosialis, misalnya, mereka merasa menemukan makna dengan memahami filsafat materialis dan mengamalkan ajarannya. Ada juga orang yang dengan meyakini kebenaran-kebenaran universal dan menjalaninya seperti menolong sesama dan menjadi pekerja-pekerja sosial.
d. Nilai-nilai Bersikap
Nilai ini merupakan sikap yang diambil terhadap sebuah penderitaan yang tidak dapat dielakkan atau tak terhindarkan (inavoid moment). Hal ini bisa dalam bentuk kematian seseorang yang dicintai, penyakit yang tak dapat disembuhkan atau kecelakaan yang tragis. Dalam kehidupan sehari-hari mungkin hal ini sama halnya dengan takdir yang dikenal dalam masyrakat kita. Sikap-sikap yang dikembangkan dalam hal ini antara lain menerima dengan ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak dapat dielakkan.
Hal ini, menurut Frankl, bisa dilakukan karena manusia mempunyai kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri (self detachment). Dengan kemampuan ini manusia mampu menjadi hakim terhadap dirinya dan akhirnya bisa menetukan sikap yang tepat terhadap apa yang menimpanya. Ketika seseorang larut dalam sebuah keadaan tragis dan terus meratapinya, Ia cendrung menjadi sebagai objek dari sebuah keadaan dan tidak bisa melihat dan menarik diri serta menjadikan dirinya sebagai subjek yang mengambil kebijakan dalam hidupnya. Karena dengan kemampuan self detachment manusia bisa menjadi subjek sekaligus menjadi objek atas semua perbuatannya.
e. Dimensi Manusia dalam Logoterapi
Logoterapi memandang manusia mempunyai dimensi spiritual, selain dimensi fisik dan dimensi kejiwaan (Fabry, 1980). Dalam aliran-aliran psikologi seperti psikoanalisa dan behavior, spiritualitas sangat diabaikan. Psikoanalisa hanya menekankan pada aspek-aspek psikologis yang merupakan wujud dari tuntutan kebutuhan jasmani. Sedangkan behavior menekankan aspek fisik atau perilaku yang tampak.
Dalam pandangan logoterapi ketiga dimensi manusia ini (fisik, psikologis, dan spiritual) tidak boleh diabaikan dalam rangka memahami manusia seutuhnya. Dimensi spiritual dalam pandangan Frankl tidak selalu identik dengan agama. Setiap orang mempunyai dimensi spiritual sekalipun pada penganut atheis.
Dimensi spiritualitas dari manusia bersifat universal sebagaimana dimensi fisik dan psikologis. Frankl juga menyebut dimensi spiritual ini dengan “nootic” untuk menghindari term spiritual yang diidentikan dengan agama tertentu. Dimensi spiritual ini merupakan dimensi khas manusia dimana tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sebagai dimensi khas manusia, dimensi spiritual (nootic) ini terdiri dari kualitas-kualitas insani seperti hasrat akan makna, orientasi tujuan, iman, cinta kasih, kretivitas, imaginasi, tanggung jawab, self transcendence, komitmen, humor dan kebebasan dalam mengambil keputusan (Bastaman, 2007).
Kualitas-kualitas diatas memang merupakan kualitas insani yang khas manusia. Dalam kajian psikologi behavior dan psikoanalisa, aspek-aspek yang berkenaan dengan kualitas insani di atas tidak mendapatkan tempat. Dengan tetap mempertahankan metode positivistic, kualitas insani manusia terabaikan hanya dengan alasan bahwa aspek tersebut tidak termasuk dalam kajian bidang keilmuan yang bersifat empiris dan objektif.
f. Sindroma Ketidakbermaknaan
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), seseorang yang tidak menemukan makna hidup akan mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrom of meaninglessness). Sindroma ini terdiri dari dua tahapan yaitu kevakuman eksistensi (existential vacum) dan neurosis noogenik.
Kevakuman eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak terpenuhi. Gejala-gejala yang ditimbulkan dari kevakuman eksistensial ini antara lain perasaan hampa, bosan, kehilangan inisiatif, dan kekosongan dalam hidup. Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol pada masyarakat modern saat ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat modern yang sudah terlalu jauh meninggalkan hal-hal yang bersifat religi dan moralitas. Hal ini juga diakui para terapis yang berada di barat bahwa mereka sering menghadapi pasien dengan keluhan-keluhan yang menyangkut permasalahan yang terkait makna hidup seperti merasa tidak berguna dan perasaan hampa.
Untuk menunjukkan kemunculan fenomena tersebut, Frankl (Koeswara, 1992) menunjuk survei yang mengungkapkan bahwa 40% mahasiswa yang berasal dari Jerman, Swiss, dan Austria mengaku mengalami perasaan absurd, ragu akan maksud dan tujuan atau makna hidup mereka sendiri. Sedangkan para mahasiswa yang berasal dari Amerika Serikat mengalami hal yang sama dengan presentase 81%.
Frankl menekankan bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah penyakit dalam pengertian klinis. Frankl menyimpulkan bahwa frustasi eksistensi adalah sebuah penderitaan batin ketika pemenuhan akan hasrat untuk mempunyai hidup yang bermakna terhambat. Frankl menyatakan bahwa kevakuman eksistensial tersebut bermanifestasi dalam bentuk neurosis kolektif, neurosis hari Minggu, neurosis pengangguran dan pensiunan, dan penyakit eksekutif. Beberapa bentuk manifestasi ini gejalanya sama yaitu kebosanan dan kehampaan, namun terdapat pada kondisi, individu dan waktu tertentu.
Neurosis noogenik merupakan sebuah simptomatologi yang berakar kevakuman eksistensialis. Frankl menerangkan bahwa neurosis ini terjadi apabila kevakuman eksistensialis disertai dengan simptom-simptom klinis. Disini permasalahan patologis tersebut berakar pada dimensi spiritual dan noologis yang berbeda dengan neurosis somatogenik (neurosis yang berakar pada fisiologis) maupun neurosis psikogenik (neurosis yang berakar pada permasalahan psikologis. Menurut Frankl neurosis noogenik itu sendiri dapat timbul dengan berbagai neurosis klinis seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan.
Orang yang mengalami kehampaan dan kekosongan hidup mungkin lari kepada alkohol dan narkoba dalam rangka mengisi kekosongan hidup tersebut. Kasus alkoholik dan narkoba yang berakar pada permasalahan kevakuman eksistensialis inilah disebut dengan neurosis noogenik (Koeswara, 1990).

B. Terapi Logoterapi
1. Intensi Paradoksikal
Teknik intensi paradoksikal merupakan teknik yang dikembangkan Frankl berdasarkan kasus kecemasan antispatori, yaitu kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi individu atas suatu situasi atau gejala yang ditakutinya (Koeswara, 1992).
Intensi paradoksikal adalah keinginan terhadap sesuatu yang ditakuti. Landasan dari intensi paradoksikal adalah kemampuan manusia untuk mengambil jarak atau bebas bersikap terhadap dirinya sendiri (Boeree, 2007). Frankl (dalam Koeswara, 1992) mencatat bahwa pola reaksi atau respon yang biasa digunakan oleh individu untuk mengatasi kecemasan antisipatori adalah menghindari atau lari dari situasi yang menjadi sumber kecemasan.
Contohnya, individu yang menghindari eritrofobia selalu cemas kalau-kalau dirinya gemetaran dan mandi keringat ketika berada di dalam ruangan yang penuh dengan orang. Kemudian, karena telah ada antisipasi sebelumnya, individu benar-benar gemetaran dan mandi keringat ketika dia memasuki ruangan yang penuh dengan orang. Individu pengidap eritrofobia ini berada dalam lingkaran setan. Gejala gemetaran dan mandi keringat menghasilkan kecemasan, kemudian kecemasan antisipatori ini menimbulkan gejala-gejala gemetaran dan mandi keringat. Jadi gejala antisipatori mengurung individu di dalam kecemasan terhadap kecemasan (Koeswara, 1992).
2. Derefleksi
Derefleksi merupakan teknik yang mencoba untuk mengalihkan perhatian berlebihan ini pada suatu hal di luar individu yang lebih positif. Derefleksi memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang ada pada manusia. Dengan teknik ini individu diusahakan untuk membebaskan diri dan tak memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Dengan berusaha mengabaikan keluahannya, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala hyper intention akan menghilang (Bastaman, 2007).
Pasien dengan teknik ini diderefleksikan dari gangguan yang dialaminya kepada tugas tertentu dalam hidupnya atau dengan perkataan lain dikonfrontasikan dengan makna. Apabila fokus dorongan beralih dari konflik kepada tujuan-tujuan yang terpusat pada diri sendiri, maka hidup seseorang secara keseluruhan menjadi lebih sehat, meskipun boleh jadi neurosisnya tidak hilang sama sekali.
3. Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani adalah metode yang khusus digunakan terhadap pada penanganan kasus dimana individu berada pada penderitaan yang tidak dapat terhindarkan atau dalam suatu keadaan yang tidak dapat dirubahnya dan tidak mampu lagi berbuat selain menghadapinya (Koeswara, 1992).
Pada metode ini, individu didorong untuk merealisasikan nilai bersikap dengan menunjukkan sikap positif terhadap penderitaanya dalam rangka menemukan makna di balik penderitaan tersebut.

Selasa, 02 April 2013


Person Centered Therapy

Terapi humanistik berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1950. Carl Rogers mengusulkan bahwa terapi bisa lebih sederhana, lebih hangat dan lebih optimis daripada yang dilakukan oleh psikolog perilaku atau psikodinamik.

Pandangannya berbeda tajam dari pendekatan psikodinamik dan perilaku dalam bahwa ia menyarankan bahwa klien akan lebih baik membantu jika mereka didorong untuk fokus pada pemahaman subyektif mereka ketimbang pada beberapa motif sadar atau seseorang interpretasi lain situasi.

Rogers sangat percaya bahwa agar kondisi klien untuk meningkatkan terapis harus hangat, tulus dan pemahaman. Titik awal dari pendekatan Rogerian untuk konseling dan psikoterapi yang terbaik dinyatakan oleh Rogers (1986) sendiri.

"Ini adalah bahwa individu memiliki dalam dirinya sendiri sumber daya yang luas untuk pemahaman diri, untuk mengubah nya konsep diri, sikap dan perilaku mengarahkan diri sendiri - dan bahwa sumber daya tersebut dapat dimanfaatkan jika hanya iklim didefinisikan sikap psikologis fasilitatif dapat diberikan. "

Rogers menolak sifat deterministik psikoanalisis dan behaviorisme baik dan dipelihara bahwa kita berperilaku seperti yang kita lakukan karena dari cara kita memandang situasi kita. "Karena tidak ada orang lain bisa tahu bagaimana kita memandang, kita adalah ahli terbaik pada diri kita sendiri." (Gross, 1992)

Percaya kuat bahwa teori harus keluar dari praktek daripada sebaliknya, Rogers mengembangkan teorinya didasarkan pada karyanya dengan orang-orang emosional bermasalah dan mengklaim bahwa kita memiliki kapasitas luar biasa untuk penyembuhan diri dan pertumbuhan pribadi mengarah pada aktualisasi diri. Dia menempatkan penekanan pada persepsi saat orang tersebut dan bagaimana kita hidup di sini-dan-sekarang.

Rogers memperhatikan bahwa orang cenderung untuk menggambarkan pengalaman mereka saat ini dengan merujuk kepada diri mereka sendiri dalam beberapa cara, misalnya, "Saya tidak mengerti apa yang terjadi" atau "Saya merasa berbeda dengan bagaimana saya digunakan untuk merasa".

Pusat untuk 'Rogers (1959) teori adalah gagasan tentang diri atau konsep diri. Ini didefinisikan sebagai "set, terorganisir konsisten persepsi dan keyakinan tentang diri sendiri". Ini terdiri dari semua ide dan nilai-nilai yang menjadi ciri 'I' dan 'saya' dan termasuk persepsi dan menilai dari 'apa yang saya' dan 'apa yang bisa saya lakukan'.

Akibatnya, konsep diri merupakan komponen utama dari total pengalaman kami dan mempengaruhi baik persepsi kita tentang dunia dan persepsi diri sendiri. Misalnya, seorang wanita yang memandang dirinya sebagai yang kuat juga dapat berperilaku dengan keyakinan dan datang untuk melihat tindakannya sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang percaya diri.

Konsep diri tidak harus selalu sesuai dengan kenyataan, meskipun, dan cara kita memandang diri sendiri mungkin sangat berbeda dari bagaimana orang lain melihat kita. Sebagai contoh, seseorang mungkin sangat menarik untuk orang lain dan menganggap dirinya belum menjadi membosankan. Dia hakim dan mengevaluasi gambar ini ia memiliki dirinya sebagai membosankan dan ini menilai akan tercermin dalam diri-nya. Wanita percaya diri mungkin memiliki harga diri yang tinggi dan orang yang melihat dirinya sebagai membosankan mungkin memiliki harga diri yang rendah, menganggap bahwa kekuatan / kepercayaan diri sangat dihargai dan bahwa menjadi membosankan tidak.

Orang Centered Therapy

Catatan: Orang terapi berpusat disebut juga client terapi berpusat.

Salah satu perbedaan utama antara konselor dan terapis humanistik lainnya adalah bahwa mereka merujuk kepada mereka dalam terapi sebagai 'klien', bukan 'pasien'. Hal ini karena mereka melihat terapis dan klien sebagai mitra sejajar dan bukan sebagai ahli mengobati pasien.

Tidak seperti terapi lain klien bertanggung jawab untuk meningkatkan hidupnya, bukan terapis. Ini adalah perubahan yang disengaja dari kedua psikoanalisis dan terapi perilaku dimana pasien didiagnosis dan diobati oleh dokter. Sebaliknya, klien sadar dan rasional memutuskan untuk diri mereka sendiri apa yang salah dan apa yang harus dilakukan tentang hal itu. Terapis adalah lebih dari seorang teman atau konselor yang mendengarkan dan mendorong pada tingkat yang sama.

Salah satu alasan mengapa Rogers (1951) dikeluarkan interpretasi adalah bahwa ia percaya bahwa, meskipun gejala tidak timbul dari pengalaman masa lalu, itu lebih berguna bagi klien untuk fokus pada masa sekarang dan masa depan dari pada masa lalu. Daripada hanya klien membebaskan dari sana masa lalu, sebagai terapis psikodinamik bertujuan untuk melakukan, Rogerians berharap dapat membantu klien mereka untuk mencapai pertumbuhan pribadi dan akhirnya untuk diri mengaktualisasikan.

Ada tidak adanya hampir total teknik dalam psikoterapi Rogerian karena karakter unik dari masing-masing hubungan konseling. Yang paling penting, bagaimanapun, adalah kualitas hubungan antara klien dan terapis. "Hubungan terapeutik ... adalah variabel penting, bukan apa terapis katakan atau lakukan."

Jika ada teknik mereka mendengarkan, menerima, memahami dan berbagi, yang tampak lebih sikap-berorientasi daripada keterampilan-berorientasi. Dalam (1991) pandangan Corey "keasyikan dengan menggunakan teknik terlihat [dari sudut pandang Rogerian] sebagai depersonalizing hubungan." Pendekatan yang berpusat pada klien Rogerian menempatkan penekanan pada orang yang datang untuk membentuk pemahaman yang tepat tentang dunia mereka dan diri mereka sendiri.

Seseorang memasuki terapi orang berpusat dalam keadaan ketidaksesuaian. Ini adalah peran terapis untuk membalikkan situasi ini. Rogers (1959) disebut pendekatan terapi nya terapi berpusat pada klien atau orang-berpusat karena fokus pada pandangan subyektif seseorang dunia.

Rogers dianggap setiap orang sebagai "individu yang berpotensi kompeten" yang bisa mendapatkan keuntungan yang besar dari wujudnya terapi. Tujuan terapi humanistik Roger adalah untuk meningkatkan perasaan seseorang harga diri, mengurangi tingkat ketidaksesuaian antara diri ideal dan aktual, dan membantu seseorang menjadi lebih dari orang yang berfungsi sepenuhnya.

Klien-tengah terapi beroperasi sesuai dengan tiga prinsip dasar yang mencerminkan sikap terapis untuk klien:

    
1. Terapis adalah sama dan sebangun dengan klien.

    
2. Terapis menyediakan klien dengan hal positif tanpa syarat.

    
3. Terapis menunjukkan pemahaman empati kepada klien.

Kongruensi dalam Konseling

Kongruensi juga disebut keaslian. Kongruensi adalah atribut paling penting dalam konseling, menurut Rogers. Ini berarti bahwa, tidak seperti terapis psikodinamik yang umumnya memelihara 'layar kosong' dan mengungkapkan sedikit kepribadian mereka sendiri dalam terapi, yang Rogerian sangat ingin untuk memungkinkan klien untuk mengalami mereka sebagaimana adanya. Terapis tidak memiliki façade (seperti psikoanalisis), yaitu, pengalaman terapis internal dan eksternal adalah satu dalam sama. Singkatnya, terapis itu asli.

Unconditional Positif Regard

Kondisi inti berikutnya Rogerian adalah hal positif tanpa syarat. Rogers percaya bahwa bagi orang untuk tumbuh dan memenuhi potensi mereka adalah penting bahwa mereka dihargai sebagai diri mereka sendiri. Hal ini mengacu pada kepedulian terapis mendalam dan tulus untuk klien. Terapis mungkin tidak menyetujui beberapa tindakan klien, tetapi terapis tidak menyetujui klien. Singkatnya, terapis perlu memiliki sikap "Saya akan menerima Anda seperti Anda." Konselor orang-berpusat demikian berhati-hati untuk selalu menjaga sikap positif kepada klien, bahkan ketika muak dengan tindakan klien.

Empati adalah kemampuan untuk memahami apa yang klien rasakan. Hal ini mengacu pada kemampuan terapis untuk memahami sensitif dan akurat [tapi tidak simpatik] pengalaman klien dan perasaan di sini-dan-sekarang. Bagian penting dari tugas konselor orang-berpusat adalah mengikuti persis apa yang klien rasakan dan mengkomunikasikan kepada mereka bahwa terapis mengerti apa yang mereka rasakan.

Dalam kata-kata Rogers (1975), pemahaman empatik yang akurat adalah sebagai berikut:

"Jika saya benar-benar terbuka untuk jalan kehidupan yang dialami oleh orang lain ... jika saya dapat mengambil nya atau dunia ke dalam tambang, maka saya melihat risiko hidup nya atau cara nya ... dan sedang berubah sendiri, dan kami semua menolak perubahan. Karena kita semua menolak perubahan, kita cenderung untuk melihat dunia orang lain hanya dalam hal kita, bukan dalam nya atau miliknya Kemudian kita menganalisis dan mengevaluasi.. Kami tidak mengerti dunia mereka. Tapi, ketika terapis tidak mengerti bagaimana benar-benar merasa berada di dunia orang lain, tanpa ingin atau mencoba untuk menganalisis atau menilai, maka terapis dan klien benar-benar bisa mekar dan tumbuh di iklim itu. "

Kesimpulan

Karena tempat konselor orang-berpusat begitu banyak penekanan pada keaslian dan dipimpin oleh klien, mereka tidak menempatkan penekanan yang sama pada batas-batas waktu dan teknik seperti yang akan terapis psikodinamik. Jika mereka menilai itu tepat, konselor orang-berpusat bisa menyimpang jauh dari teknik konseling ortodoks.

Seperti Mearns dan Thorne (1988) menunjukkan, kita tidak dapat memahami orang-berpusat konseling dengan teknik fiturnya saja. Konselor orang-berpusat memiliki pandangan yang sangat positif dan optimis sifat manusia. Filosofi bahwa orang pada dasarnya baik, dan bahwa pada akhirnya individu tahu apa yang benar bagi mereka, adalah unsur penting dari orang yang sukses berpusat terapi sebagai "semua tentang cinta".



Sumber :



Teori Psikologi humanistik Eksistensial

Psikologi Eksistensial atau sekarang berkembang dengan nama psikologi Humanistik atau psikologi holistic berawal dari kajian filsafat yang diawali dari Sorean Kierkigard tentang eksistensi manusia. Sebelum psikologi modern membuka dirinya pada pemikiran (school of thought) berbasis emosi dan spiritual yang transenden, psikologi terlebih dahulu dipengaruhi oleh ide-ide humanistik. Psikologi humanistik berpusat pada diri, holistik, terobsesi pada aktualisasi diri, serta mengajarkan optimisme mengenai kekuatan manusia untuk mengubah diri mereka sendiri dan masyarakat. Terdapat gerakkan eksistensialisme pada abad 19 yang dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Søren Kierkegaard. Dalil utama dari eksistensialisme adalah keberadaan (existence) individual manusia yang dialami secara subjektif
Istilah eksistensi berasal dari akar kata ex-sistere, yang secara literal berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah in hendak dikatakan oleh para eksistensialis bahwa eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai sesuatu yang “mengada”.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang bersaha memahami kondisi manusia sebagaimana memanifestasikan dirinya di dalam situasi-situasi kongkret. Kondisi manusia yang dimaksud bukanlah hanya berupa ciri-ciri fisiknya (misalnya tubuh dan tempat tinggalnya), tetapi juga seluruh momen yang hadir pada saat itu (misalnya perasaan senangnya, kecemasannya, kegelapannya, dan lainnya). Manusia eksistensial lebih sekedar manusia alam (suatu organisme/alam, objek) seperti pandangan behaviorisme, akan tetapi manusia sebagai “subjek” serta manusia dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yakni sebagai kesatuan individu dan dunianya. Manusia tidak dapat dipisahkan sebagai manusia individu yang hidup sendiri tetapi merupakan satu kesatuan dengan lingkungan dan habitatnya secara keseluruhan. Manusia (individu) tidak mempunyai eksistensi yang dipisahkan dari dunianya dan dunia tidak mungkin ada tanpa ada individu yang memaknakannya. Individu dan dunia saling menciptakan atau mengkonstitusikan (co-constitute). Dikatakan saling menciptakan (co-constitutionality), karena musia dengan dunianya memang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Tidak ada dunia tanpa ada individu, dan tidak ada individu tanpa ada dunia. Individu selalu kontekstual, oleh karena sebab itu tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia tempat eksistensi manusia, melalui dunianyalah maka makna eksistensi tampak bagi dirinya dan orang lain. Sebaliknya individu memberi makna pada dunianya, tanpa diberi makna oleh individu maka dunia tidak ada sebagai dunia.
Psikologi eksistensial adalah ilmu pengetahuan empiris tentang eksistensi manusia yang menggunakan metode analisis fenomenologis. psikologi eksistensial bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi.

Asal Muasal Psikologi Eksistensial dalam Psikologi
Tokoh psikologi eksistensial yang terkenal adalah Ludwig Binswanger (1881) dan Medard Boss (1903). Psikologi eksistensial menolak konsep tentang kausalitas, dualisme antara jiwa dan badan, serta pemisahan orang dari lingkungannya.
Ludwig Binswager lahir pada tanggal 13 april 1881, di Kreuzlingen, Swiss di tengah keluarga yang memiliki tradisi kedokteran dan psikiatrik kuat. Kakeknya, yang namanya kecilnya juga Ludwig adalah pendiri Belleuve Sanatorium di Kruezlingen pada tahun 1857. ayahnya Robert adalah direktur Sanatorium tersebut. Pada tahun 1911, Binswanger diangkat menjadi direktur medis Belleuve sanatorium.
Ludwig meraih gelar sarjana kedokteran dari University of Zurich tahun1907. Dia belajar dibawah bimbingan Carl Jung dan menjadi asistennya dalam Freudian society. Seperti halnya Jung, dia juga lebih terpengaruh Eugen Bleuleur, seorang psikiatri Swiss terkemuka. Dia adalah salah seorang pengikut pertama Freud di Swiss. Pada awal 1920-an, Binswanger menjadi salah pelopor pertama dalam menerapkan fenomenologi dalam psikiatri. Sepuluh tahun kemudian dia menjadi seorang analisis eksistensial. Binswanger mendefinisikan analisis eksistensial sebagai analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia yang actual. Tujuannya adalah rekonstruksi dunia pengalaman batin.
Binswanger adalah terapis pertama yang menekankan sifat dasar eksistensial dari tipe krisis yang dialami pasien dalam pengalaman terapi. Binswanger pada dasarnya berjuang untuk menemukan arti dalam penyakit gila dengan mnerjemahkan pengalaman para pasien kedalam teori psikoanalisis. Setelah membaca pendekatan filsafat Heidegger “Being in time” (1962), Binswanger menjadi lebih eksistensial dan fenomenologis dalam pendekatannya kepada para pasien. Pada tahun 1956, Binswanger berhenti menjadi direktur Sanatorium setelah menduduki posisi tersebut selama 45 tahun. Dia terus melakukan studi dan menulis sampai meninggal pada tahun 1966.
Sedangkan Medard Boss lahir di St. Gallen, Swiss pada tanggal 4 oktober 1903. kemudian menghabiskan masa mudanya di Zurich pusat aktivitas psikologi saat itu. Dia menerima gelar kedokteran university of Zurich pada tahun 1928. kemudian melanjutkan studi ke Paris dan Wina serta membiarkan dirinya dianalisis oleh S.Freud. Mulai tahun 1928, dia bergabung dengan Carl Jung yang menunjukkan pada Boss kemungkinan lepasnya psikoloanalisis dari interpretasi Freudian.
Dalam masa-masa itu, Boss membaca karya-karya Ludwig Binswanger dan Martin Heidegger. Pertemuannya dengan Heidegger pada tahun 1964 yang kemudian berlanjut dengan persahabatannyalah yang membawanya kepada psikologi eksistensial. Pengaruh dalam eksistensial sangat besar sehingga sering disejajarkan dengan Binswanger.
Konsep dasar filsafat eksistensialistik sebagai kelompok ketiga menurut Blocher adalah kerinduan manusia untuk mencari sesuatu yang penting, sesuatu yang bermakna dalam dirinya. Sesuatu yang paling bermakna di dalam diri seseorang adalah eksistensi dirinya. Perhatian yang lebih besar terhadap pribadi, terhadap manusia daripada terhadap system yang formal. Konsep identitas menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan dalam kehidupan manusia. Mengenai ini, Beck (1963) menyusun beberapa paham dasar sebagai konsep dasar falsafahnya yang diambil sebagian besar dari filsafat eksistensialisme, sebagai berikut:
  • Setiap pribadi bertanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatannnya sendiri. 
  • Orang harus menganggap orang lain sebagai obyek dari nilai-nilai sebagai bagian dari perhatiannya. 
  • Manusia berada dalam dunia realitas. 
  • Kehidupan yang bermakna harus terhindar sejauh mungkin dari ancaman, baik fisik maupun psikis. 
  • Setiap orang memiliki latar belakang keturunannya sendiri dan memperoleh pengalaman-pengalaman unik. 
  • Orang bertindak atas dasar pandangan terhadap realitasnya sendiri yang subyektif, tidak karena realitas yang obyektif di luar dirinya. 
  • Manusia tidak bisa digolongkan sebagai baik atau jahat dari asalnya (by nature). 
  • Manusia berreaksi sebagai kesatuan organisasi terhadap setiap situasi (Gunarsa, 1996:9-13).
Prinsip Eksitensi dalam Psikologi
Psikologi eksistensial tidak mengkonsepsikan perilaku sebagai akibat dari perangsangan dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang individu bukanlah mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang terdiri dari insting-insting, kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, dan hanya ia sendiri yang bertanggungjawab terhadap eksistensinya. Manusia dapat mengatasi baik lingkungan maupun badan fisiknya apabila ia memang memilih begitu. Apa saja yang dilakukannya adalah pilihannya sendiri. Orang sendirilah yang menentukan akan menjadi apa dia dan apa yang akan dilakukannya.
Lalu apakah pengaruh eksistensialisme terhadap psikologi? Psikologi eksistensial ini menjabarkan psikologi yang dilandaskan pada fakta primordial dari dunia pribadi yang bermakna yang menjadi sasaran dari segenap aktivitas. Salah satu dalil dasar yang mendasari psikologi eksistensial adalah setiap manusia unik dalam kehidupan batinnya, dalam mempersepsi dan mengevaluasi dunia, dan dalam bereaksi terhadap dunia. Perhatiannya adalah pada kesadaran, perasaan-perasaan, suasana-suasana perasaan, dan pengalaman-pengalaman pribadi individual yang berkaitan dengan keberadaan individualnya dalam dunia dan di antara sesamanya. Intinya dari perspektif ini adalah melihat manusia secara keseluruhan sebagai subjek.
Sebagaimana tercermin dalam tulisan Binswanger dan Boss, psikologi eksistensial bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Tidak ada hubungan sebab akibat dalam eksistensial manusia, hanya ada rangkaian urutan tingkah laku tetapi tidak bisa menurunkan kausalitas dari rangkaian tersebut. Sesuatu yang terjadi pada seorang anak-anak bukan penyebab dari tingkah lakunya kemudian sebagai seorang dewasa. Peristiwa yang terjadi mungkin memiliki makna eksistensi yang sama akan tetapi tidak berarti peristiwa A menyebabkan peristiwa B. Psikologi eksistensial mengganti konsep kausalitas dengan konsep motivasi.
Untuk menjelaskan perbedaan antara sebab dan motif, Boss mencontohkan dengan jendela yang tertutup oleh angin dan manusia. Angin menyebabkan jendela tertutup, tetapi manusia termotif untuk menutup jendela karena ia tahu bahwa jika jendela terbuka maka air hujan akan masuk. Karena prinsip kausalitas kurang relevan dengan tingkah laku manusia dan sebaliknya motivasi dan pemahaman merupakan prinsip-prinsip operatif dalam analisis eksistensial tingkah laku. (Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993)

Struktur Eksistensi Ada-di-Dunia (Dasein)
Merupakan dasar fundamental dalam psikologi eksistensial. Seluruh struktur eksistensi manusia didasarkan pada konsep ini. Ada-di-dunia (Dasein) adalah keseluruhan eksistensi manusia, bukan merupakan milik atau sifat seseorang. Sifat dasar dari Dasein adalah keterbukaannya dalam menerima dan memberikan respon terhadap apa yang ada dalam kehadirannya. Manusia tidak memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki eksistensi terlepas dari manusia. Dunia dimana manusia memiliki eksistensi meliputi 3 wilayah, yaitu:
Umweit (dunia biologis, “lingkungan”)
Dunia objek disekitar kita, dunia natural. Yang termasuk dalam umwelt diantaranya kebutuhan-kebutuhan biologis, dorongan-dorongan, naluri-naluri, yakni dunia yang akan terus ada, tempat dimana kita harus menyesuaikan diri. Akan tetapi umwelt tidak diartikan sebagai “dorongan-dorongan” semata melainkan dihubungkan dengan kesadaran-diri manusia.
Mitweit (“dunia bersama”)
Dunia perhubungan antar manusia dengan manusia yang lain. Didalamnya terdapat perhubungan antar berupa interaksi manusiawi yang mengandung makna. Dalam perhubungan tersebut terdapat perasaan-perasaan seperti cinta dan benci yang tidak pernah bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat biologis semata.
Eigenwelt (“dunia milik sendiri”)
Adalah kesadaran diri, perhubungan diri dan secara khas hadir dalam diri manusia.

Ada-melampaui-Dunia (kemungkinan-kemungkinan dalam manusia)
Analisis eksistensial mendekati eksistensi manusia dengan tidak memakai pandangan lain selain bahwa manusia ada di dunia, memiliki dunia, ingin melampaui dunia. Akan tetapi, Binswanger tidak mengartikan ada-melampaui-dunia sebagai dunia lain melainkan mau mengungkapkan begitu banyak kemungkinan yang dimiliki manusia untuk mengatasi dunia yang disinggahinya dan memasuki dunia baru. Istilah melampaui/mengatasi dunianya dikenal juga dengan transendensi yang merupakan karakteristik khas dari eksistensi manusia serta merupakan landasan bagi kebebasan manusia.
Karena hanya dengan mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinan tersebut ia dapat menjalani kehidupan yang otentik, apabila ia menyangkal atau membatasi kemungkinan-kemungkianan yang penuh dari eksistensinya atau membiarkan dirinya dikuasai oleh orang-oarang lain atau oleh lingkungannya, maka manusia itu hidup dalam suatu eksistensi yang tidak otentik. Manusia bebas memilih salah satu dari keduanya.

Dasar Eksistensi
Manusia dapat hidup dengan bebas, akan tetapi bukan berarti tanpa adanya batas-batas. Salah satu batas adalah dasar eksistensi kemana orang-orang “dilemparkan”. Kondisi “keterlemparan” ini, yakni cara manusia menemukan dirinya dalam dunia yang menjadi dasarnya, merupakan nasibnya. Manusia harus hidup sampai nasibnya berakhir untuk mencapai kehidupan yang otentik. Keterlemparan juga diartikan sebagai keadaan diperdaya oleh dunia, dengan akibat orang-orang menjadi terasing dari dirinya sendiri.

Rancangan Dunia
Rancangan dunia adalah istilah Binswanger untuk menyebut pola yang meliputi cara ada di dunia seorang individu. Rancangan dunia seseorang menentukan cara bagaimana ia akan bereaksi terhadap situasi-situasi khusus serta ciri sifat dan simpton macam mana yang akan dikembangkannya.batas-batas dari rancangan tersebut mungkin sempit, dan mengerut atau mungkin lebar dan meluas.
Binswanger mengamati bahwa jika rancangan dunia dikuasai oleh sejumlah kecil kategori, maka ancamannya akan lebih cepat dialami dibandingkan bila rancangan dunia terdiri dari bermacam-macam kategori. Pada umumnya, orang memiliki lebih dari satu rancangan dunia.

Cara-cara Ada Dunia
Ada banyak cara yang berbeda untuk ada di dunia, setiap cara merupakan Dasein memahami, menginterpretasikan, dan mengungkap dirinya. Diantaranya, cara jamak (dengan menjalin hubungan-hubungan formal, kompetisi, dan perjuangan), cara tunggal (untuk dirinya sendiri), dan cara anonimitas (tenggelam di tengah orang banyak). Biasanya orang tidak hanya memiliki satu cara eksistensi, tetapi banyak.

Eksistensial
Boss tidak berbicara tentang cara-cara ada di dunia dengan arti sama seperti yang dikemukakan oleh Binswanger. Boss lebih membicarakan mengenai sifat-sifat yang melekat pada eksistensi manusia, selain itu hal lain yang dibicarakan oleh Boss adalah spasialitas eksistensi (keterbukaan dan kejelasan merupakan spasialitas (tdk diartikan dalam jarak) yang sejati dalam dunia manusia), temporalitas eksistensi (waktu (bkn jam) yang digunakan/dihabiskan manusia untuk….), badan (ruang lingkup badaniah dalam pemenuhan eksistensi manusia), eksistensi dalam manusia milik bersama (manusia selalu berkoeksistensi atau tinggal bersama orang lain dalam dunia yang sama), dan suasana hati atau penyesuaian (apa yang diamati dan direspon seseorang tergantung pada suasana hati saat itu).

Dinamika Eksistensi
Psikologi eksistensial tidak mengkonsepsikan tingkah laku sebagai akibat dari perangsang dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang individu bukanlah mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang terdiri dari insting-insting, kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan.
Akan tetapi ia memiliki kebebasan untuk memilih dan hanya ia sendiri yang bertanggung jawab terhadap eksistensinya. Apa saja yang dilakukannya adalah pilihannya sendiri, orang sendirilah yang menentukan akan menjadi apa dia dan apa yang akan dilakukannya.

Perkembangan Eksistensi
Konsep eksistensial perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang menjadi. Eksistensi tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam proses menjadi sesuatu yang baru, mengatasi diri sendiri. Tujuannya adalah untuk menjadi manusia sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan Dasein.
Menjadi orang dan menjadi dunia selalu berhubungan, keduanya merupakan mitra menjadi (co-becoming, Strauss). Orang menyingkap kemungkinan-kemungkinan dari eksistensinya melalui dunia, dan sebaliknya dunia tersingkap oleh orang yang ada di dalamnya. Manakala bila yang satu tumbuh dan berkembang maka yang juga harus tumbuh dan berkembang begitu pula sebaliknya apabila yang satu terhambat maka yang juga terhambat. Bahwa kehidupan berakhir dengan kematian sudah merupakan fakta yang diketahui oleh setiap orang.
Terapi
Inti terapi eksistensial adalah hubungan antara terapi dengan kliennya. Hubungan ini disebut pertemuan. Pertemuan adalah kehadiran asal satu Dasein kehadapan Dasein yang lain, yakni sebuah “ketersingkapan” satu Dasein terhadap yang lainnya. Berbeda dengan terapi-terapi formal, seperti terapi gaya Freud, atau terapi-terapi yang “teknis”, seperti terapi gaya behavioris, para terapis eksistensial sepertinya ingin terlibat intim dengan Anda. Saling beri dan saling terima adalah bagian paling alami dari pertemuan, bukan untuk saling menghakimi dan memojokkan. (Boeree, C.George, 2004)
Para analasis eksistensial menyadari kompleksitas manusia yang mereka hadapi di ruang-ruang praktek mereka. Mereka menyadari bahwa manusia bukan hanya merupakan makhluk biologis atau fisik, melainkan juga sebagai makhluk yang unik dan mempunyai kesadaran. Dengan perkataan lain, manusia tidak lain adalah tubuh (organisme) yang berkesadaran. Oleh sebab itu, mereka beranggapan bahwa pendekatan analisis eksistensial tentunya diperlukan, karena menwarkan kejernihan analisis atas pasien-pasien mereka. Gejala manusia dan pengalaman-pengalamannya tentu saja tidak bisa dikuantitafikasikan dan digeneralisasi begitu saja. Perlu pengungkapan yang lebih spesifik. Analisis eksistensial dianggap mampu melakukan tugas itu.
Dalam analisis eksistensial yang dilakukan Binswanger sebagai metode baru yang berbeda dari metode-metode yang ada sebelumnya, terlihat dalam kasus yang ditanganinya yaitu kasus “Ellen West” yang merupakan salah seorang pasiennnya. Binswanger mengadakan analisis fenomenologis mengenai tingkah lakunya dan menggunakan penemuan-penemuan tersebut untuk merumuskan eksistensi atau cara-cara ada-di-dunia pasien tersebut. Ia menyelidiki arsip-arsip di Sanotarium dan memilih kasus seorang gadis muda, yang pernah berusaha untuk melakukan bunuh diri. Kasus ini menarik karena selain buku harian, catatan-catatan pribadi dan puisi-puisinya yang penuh pesona, juga karena sebelum dirawat di sanotarium, ia telah dirawat lebih dari dua periode oleh para psikoanalis dan selama di sanitarium ia telah menerima perawatan dari Bleuler dan Kraepelin. Dalam analisis eksistensial (yang tekanannya lebih pada terapi), Binswanger pertama-tama menganalisis asumsi-asumsi yang mendasari hakekat manusia kemudian ia berhasil sampai pada pemahaman mengenai struktur tempat diletakkannya segenap system terapeutik. (Zainal A., 2002)
Medard Boss menggunakan analisis mimpi dalam terapinya terhadap seorang pasien yang menderita obsesional-complusive. Pasien ini menderita kompulsi-kompulsi untuk mencuci tangan dan membersihkan, ia sering bermimpi tentang menara-menara gereja. Pasien ini sebelumnya telah menjalani analisa Freudian dan menginterpretasikan isi mimpi tersebut sebagai simbol-simbol phalik serta menjalani analisa Jungian yang menghubungkannya dengan simbol-simbol arketif religius. Dalam dengan Boss sang pasien menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang datang berulang-ulang seperti ia mendekati sebuah pintu kamar mandi yang selalu terkunci. Boss menunjukkan dalam pembahasannya tenang kasus itu bahwa pasien merasa bersalah, karena telah mengunci beberapa potensi yang sangat penting dalam dirinya. Ia mengunci baik kemungkinan-kemungkinan pengalaman badaniahnya maupun spiritualnya atau aspek “dorongannya” dan aspek “tuhannya”, semua itu dilakukannya untk melarikan diri dari semua masalah yang dihadapinya. Menurutnya pasien merasa bersalah bukan semata-mata bahwa ia mempunyai rasa bersalah. Pasien tidak menerima dan tidak memasukkan kedua aspek tersebut ke dalam eksistesinya, maka ia merasa bersalah dan berhutang pada dirinya. Pemahaman mengenai rasa bersalah tidak ada hubungannya dengan sikap menilai (“judgmental attitude”), yang perlu dilakukan hanyalah memperhatikan kehidupan dan pengalaman pasien secara sungguh-sungguh dan penuh rasa hormat.

Pandangan Islam tentang Eksistensi Manusia
“Sungguh kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Al-Insan : 2-3)
Berbicara mengenai eksistensi manusia yang dalam hal ini psikologi eksistensial terdapat beberapa hal yang memiliki kesamaan dengan yang diajarkan dalam Islam. Seperti yang terdapat pada ayat diatas, dapat kita ambil makna bahwa sesungguhnya manusia diberikan kebebasan untuk memilih kebaikan ataupun keburukkan untuk hidup yang jelas Allah SWT telah memberikan petunjuk yang benar dan lurus, apabila kemudian mereka (manusia) mau bersyukur ataupun kufur tergantung kepada manusia itu sendiri. Karena Allah SWT telah memberikan potensi-potensi kepada manusia untuk dikembangkan dan digunakan sebaik-baiknya. Dalam memandang kebebasan menusia untuk berbuat sesuatu untuk hidupnya psikologi eksistensi juga mengungkapkan hal tersebut, manusia akan hidup dalam eksistensinya walaupun dengan pilihan hidup yang otentik dan tidak otentik manusia itu sendiri juga yang memilihnya. Namun ada hal yang tidak dapat ditemukan oleh pemakalah dalam eksistensi manusia itu sendiri. Yaitu dari mana manusia itu berasal sehingga bisa menjadi ada-di-dunia atau disebut Dasein. Manusia tidak memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki eksistensi terlepas dari manusia. Tidak ada penjelasan bagaimana manusia dan dunia bisa ada. Kami memang menemukan aspek “tuhan” serta ‘spiritual’ pada analisa mimpi yang dilakukan oleh Boss akan tetapi penjelasan aspek tersebut tidak ditemukan. Seolah-olah manusia dan dunia muncul dengan begitu saja kemudian manusia itu menyadari keberadaannya maka dia ‘ada’. Sedangkan dalam ayat diatas jelas manusia diciptakan dari setetes mani yang bercampur oleh Allah SWT.
Begitu pula dalam surat Ar-Rahman ayat 4, “ Dia menciptakan manusia” serta pada ayat 7&10, “Dan langit telah ditingggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan.(7) Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya.(10)”. Bahwa manusia dan dunia adalah hasil ciptaan Allah SWT. dan tidak begitu saja ada. Memang dalam teori in terdapat konsep transendensi, akan tetapi pengertian transendensi disini menekankan pada cara manusia untuk melampaui/mengatasi permasalahan dunianya.

Kelemahan dalam Psikologi Eksistensial
Salah satu kritik terhadap psikologi eksistensial adalah ketika psikologi telah diperjuangkan untuk dapat membebaskan diri dari dominasi filsafat, justru psikologi eksistensial secara terang-terangan menyatakan kemuakkannya terhadap positivisme dan determinisme. Para psikolog di Amerika yang telah memperjuangkan kemerdekaan psikologi dari filsafat jelas menentang keras segala bentuk hubungan baru dengan filsafat. Banyak psikolog merasa bahwa psikologi eksistensial mencerminkan suatu pemutusan yang mengerikan dengan jajaran ilmu pengetahuan, karena itu membahayakan kedudukan ilmu psikologi yang telah diperjuangkan dengan begitu susah payah.
Salah satu konsep eksistensial yang paling ditentang oleh kalangan psikologi “ilmiah” ialah kebebasan individu untuk menjadi menurut apa ynag diinginkannya. Jika benar, maka konsep in sudah pasti meruntuhkan validitas psikologi yang berpangkal pada konsepsi tengtang tingkah laku yang sangat deterministic. Karena jika manusia benar-benar bebas menentukan eksistensinya, maka seluruh prediksi dan control akan menjadi mustahil dan nilai eksperimen menjadi sangat terbatas. (Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993)
Banyak psikolog dan sarjana psikologi baik dalam maupun luar negeri mempertanyakan keberadaan analisis eksistensial. Yang mereka pertanyakan menyangkut dasar-dasar ilmiah dari analisis eksistensial. Psikologi sebagai ilmu telah lama diupayakan untuk melepaskan diri dan berada jauh dari filsafat. Psikologi harus merupakan suatu science (ilmu pasti alami) yang independent. Padahal, analisis eksistensial mengeritik ilmu (science) dan mengambil manfaat dari filsafat (fenomenologi dan eksistensialisme). Atas dasar itu, banyak sarjana psikologi yang bertanya, apakah analisis eksistensial relevan dengan perkembangan ilmu psikologi modern?
Jawaban atas pertanyaan itu tergantung pada pemahaman kita tentang manusia. Siapakah atau apakah manusia itu? Apakah manusia pada dasarnya hanya merupakan bagian dari organisme dan atau dari materi (aspek fisik kehidupan)? Jika kita memahami manusia sebgaimana para behavioris atau psikoanalis memahaminya, yakni bahwa manusia pada dasarnya merupakan bagian dari organisme atau materi, maka analisis eksistensial tampaknya tidak diperlukan. Cukup dengan pendekatan kuantitatif dan medis, dengan eksperimen dan pembedahan otak musia, maka kita sudah cukup mampu memahami dan menyembuhkan individu (manusia) yang bermasalah (patologis). Namun, dalam praktek atau kenyataan, kita menyaksikan bahwa manusia ternyata jauh lebih kompleks dari sekedar organisme dan materi. (Zainal A., 2002)

Sumber :