Tugas Lintas Budaya Individu
Nama : rezki apriyani
kelas  : 3PA05
NPM : 15510831
1.Pengertian Psikologi Lintas Budaya
Budaya
 dalam kehidupan manusia adalah hal yang dekat dan melekat padanya. 
Budaya merupakan hasil karya manusia, lahir untuk manusia dalam mengatur
 dan mendukung kehidupannya. Tujuan menjadikan kehidupan ini menjadi 
lebih baik adalah keadaan akhir yang diinginkan tersebut. Kelly 
mendefinisikan budaya sebagai bagian yang terlibat dala7hm proses 
harapan-harapan yang dipelajari/dialami. Orang-orang yang memiliki 
kelompok budaya yang sama akan mengembangkan cara-cara tertentu dalam 
mengonstruk peristiwa-peristiwa, dan mereka pun mengembangkan 
jenis-jenis harapan yang sama mengenai jenis-jenis perilaku tertentu. 
Budaya
 telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme berpikir
 dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan 
diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya. Psikologi lintas budaya 
adalah cabang dari psikologi yang (terutama) menaruh perhatian pada 
pengujian berbagai kemungkinan batas-batas pengetahuan dengan 
mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda. Di dalam 
kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang 
dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup
 budaya. Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan
 oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam 
dimensi tertentu dari kebudayaan. Psikologi Lintas Budaya ini muncul 
sebagai respon terhadap teori psikologi yang dikembangkan di Barat dalam
 satu kebudayaan bersifat universal. Padahal manusia diciptakan tidak 
bersifat universal melainkan bersifat lokal, hidup bersuku-suku dan 
berbangsa-bangsa dan memiliki budaya sendiri. Oleh karena itu Psikologi 
Lintas Budaya ini membahas tentang konsep psikologi lintas budaya, ruang
 lingkup psikologi lintas budaya, pewarisan dan perkembangan budaya, 
budaya dan diri, perilaku sosial, emosi, kepribadian, kognisi, persepsi,
 akulturasi budaya, dan kelompok-kelompok etnik.
Beberapa ahli mengemukakan pandangan mengenai pengertian Psikologi Lintas Budaya, diantaranya :
  
a.   Segall, Dasen, dan Poortinga (1990)
  
Psikologi
 Lintas Budaya adalah kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan 
penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan 
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
  
b   b. Brislin, Lonner, dan Thorndike (1973)
  Psikologi
 Lintas Budaya ialah kajian empirik mengenai anggota berbagai kelompok 
budaya yang telah memiliki perbedaan pengalaman, yang dapat membawa ke 
arah perbedaan perilaku yang dapat diramalkan dan signifikan.
Tujuan
 dari kajian psikologi Lintas Budaya adalah mencari persamaan dan 
perbedaan dalam fungsi-fungsi individu secara psikologis, dalaam 
berbagai budaya dan kelompok etnik.
Psikologi
 lintas budaya sama seperti dengan Psikologi budaya mencoba mempelajari 
bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Namun 
psikologi lintas budaya tidak hanya mempelajari faktor budaya dengan 
prilaku tetapi faktor antar budaya atau perbedaan budaya yang 
mempengaruhi prilaku manusia.
Psikologi
 Sosial mempelajari tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan 
masyarakat sekitarnya. Psikologi lintas budaya juga sama mempelajari 
individu dengan masyarakat selain itu juga mempelajari individu dengan 
atar masyarakat yang berbeda. Ruang Lingkup Antropologi psikologi sama 
dengan pengakajian secara psikologi lintas budaya (cross cultural) 
mengenai kepribadian dan sistem sosial budaya. Meliputi masalah-masalah 
sebagai berikut :
A. Hubungan struktur sosial dan nilai-nilai budaya dengan pola pengasuhan anak pada umumnya.
B. Hubungan antara struktur kepribadian rata dengan sistem peran (role system) dan aspek proyeksi dari dari kebudayaan.
B. Hubungan antara struktur kepribadian rata dengan sistem peran (role system) dan aspek proyeksi dari dari kebudayaan.
4. Artikel 
ETNOSENTRISME DALAM PSIKOLOGI
Pengertian :
Menurut
 Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia
 hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Etnosentrisme memiliki dua 
tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah 
etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat
 belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara 
tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang 
budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar 
belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. 
Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari 
perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan 
perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain 
berdasarkan latar belakang budayanya.
ENKULTURASI DAN SOSIALISASI
PENGERTIAN SOSIAL BUDAYA
Sosialisasi adalah; Proses pembelajaran terhadap norma-norma yang berlaku shg dapat berperan dan diakui oleh kelompok masyarakat
Proses
 sosialisasi. Proses ini bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan 
dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu 
dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam 
interaksi dengan segala macam individu di sekililingnya yag menduduki 
beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan 
sehari-hari.
Enkulturasi
 adalah proses pengenalan norma yang berlaku di masyarakat. Proses 
Enkulturasi. Dalam proses ini seorang individu mempelajari dan 
menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem 
norma, serta peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Kata 
enkulturasi dalam bahas Indonesia juga berarti “pembudayaan”. Sorang 
individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai 
macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi 
akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya.
M.J.Herskovits berpendapat bahwa perbedaan antar enculturation (enkulturasi) dengan socialization (sosialisasi) adalah sebagai berikut ;
M.J.Herskovits berpendapat bahwa perbedaan antar enculturation (enkulturasi) dengan socialization (sosialisasi) adalah sebagai berikut ;
1.
 Enculturation (enkulturasi) adalah suatu proses bagi seorang baik 
secara sadar maupun tidak sadar, mempelajari seluruh kebudayaan 
masyarakat.
2.
 Socialization (sosialisasi) adalah suatu proses bagi seorang anak untuk
 menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku dalam keluarganya.
Secara
 singkat perbedaan antara enkulturasi dan sosialisasi adalah dalam 
enkulturasi seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam 
pikirannya dengan lingkungan kebudayaannya, sedangkan sosialisaasi si 
individu melakukan proses penyesuaian diri dengan lingkungan sosial.
PERKEMBANGAN MORAL
PERKEMBANGAN MORAL
Teori piaget
Dalam
 bukunya The moral judgement of the Child (1923) Piaget menyatakan bahwa
 kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap yang lebih 
tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Piaget adalah 
bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan. Pertama
 kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai 
pembatasan) dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu. Dan melalui 
perkembangan umur maka orientasi perkembangan itupun berkembang dari 
sikap heteronom ( bahwasannya peraturan itu berasal dari diri orang 
lain) menjadi otonom 9 dari dalam diri sendiri. Pada tahap heteronom 
anak-anak menggangap bahwa peraturan yang diberlakukan dan berasal dari 
bukan dirinya merupakan sesuatu yang patut dipatuhi, dihormati, diikuti 
dan ditaati oleh pemain. Pada tahap otonom, anak-anak beranggapan bahwa 
perauran-peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama antara para 
pemain.
Pada
 usia 11 sampai 12 tahun kemampuan anak untuk berfikir abstrak mulai 
berkembang. Pada umur umur itu, kodifikasi ( penentuan) peraturan sudah 
dianggap perlu. Kadang-kadang mereka lebih asyik tertarik pada soal-soal
 peraturan daripada menjalankan permainannya sendiri.
Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang kemudian dibagi dalam tiga taraf.
Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang kemudian dibagi dalam tiga taraf.
1. Taraf Pra-Konvensional
2. Conventional Level ( taraf Konvensional)
3) Tahap interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation. 
4) Tahap law and order, orientation
5) Postoonventional Level ( taraf sesudah konvensional)
6) Social contract orientation 
Kemampuan
 berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang 
karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan 
antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di 
sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi 
pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang 
seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan 
atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak
 kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan 
bahwa korupsi itu tidak baik.pada masa remaja ia akan mempertanyakan 
mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan 
sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. 
Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. 
Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah 
masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan 
remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh 
orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika 
orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, 
apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai
 tersebut.
Peranan
 orangtua atau pendidik sangat besar dalam memberikan alternatif jawaban
 dari hal hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya
KONFORMITAS 
1.Pengertian
Konformitas berarti penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara mengindahkan norma dan nilai masyarakat.( Soerjono Soekanto, 2000 ).
1.Pengertian
Konformitas berarti penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara mengindahkan norma dan nilai masyarakat.( Soerjono Soekanto, 2000 ).
Muzafer
 Sherif (1966) yang dikutip oleh Zanden (1979) melakukan eksperimen di 
Columbia University, para subyek penelitian adalah 2 orang mahasiswa yg 
diminta memperkirakan jarak gerak suatu titik cahaya di layar dalam 
suatu ruang gelap. Di kala eksperimen dilakukan dengan masing-masing 
subjek secara terpisah, jawaban-jawaban yang diberikan cenderung berbeda
 satu dengan yang lain. Namun manakala eksperimen dilakukan dengan 
beberapa orang subyek sekaligus dan para subjek dimungkinkan untuk 
saling mempengaruhi, maka jawaban subyek cenderung sama.Dari eksperimen 
ini Sherif menyimpulkan bahwa dalam situasi kelompok orang cenderung 
membentuk suatu norma sosial.
Dari hal itu pula disimpulkan bahwa menurut M. Sherif, konformitas berarti keselarasan,kesesuaian perilaku individu-individu anggota masyarakat dengan harapan-harapan masyarakatnya, sejalan dengan kecenderungan manusia dalam kehidupan berkelompok membentuk norma sosial.
Dari hal itu pula disimpulkan bahwa menurut M. Sherif, konformitas berarti keselarasan,kesesuaian perilaku individu-individu anggota masyarakat dengan harapan-harapan masyarakatnya, sejalan dengan kecenderungan manusia dalam kehidupan berkelompok membentuk norma sosial.
Contoh
 : Pola memberi sumbangan, pelanggaran lalu lintas, dll. Dari uraian 
mengenai berbagai pengertian “konformitas” di atas, dapat disimpulkan 
bahwa konformitas adalah suatu bentuk sikap penyesuaian diri seseorang 
dalam masyarakat/kelompok karena dia terdorong untuk mengikuti 
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang sudah ada.
Persamaannya :
Semua
 masyarakat yg melakukan konformitas karena ingin di terima sebagai 
anggota atau bagian dr suatu kelompok, agar tidak dianggap salah.
Perbedaan :
Beragamnya
 suku dan budaya dan adat istiadat yang dijalankan buat individu menjadi
 berbeda beda sesuai dengan keyakinan yang dijalanin.
Dilihat dari Konteksnya :
Dalam
 situasi konformitas, individu mempunyai suatu pandangan dan kemudian 
menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang bertentangan. 
Individu ingin memberikan informasi yang tepat. Oleh karena itu, semakin
 besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi 
yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri 
terhadap kelompok.
Dilihat dari konteks masyarakat:
Teori
 dan metodologi tersebut diujikan untuk penghitungan kemampuan kognitif 
secara spesifik dalam suatu kontek budaya dengan menggunakan kontek 
kognisi yang di sebut sebagai Contextualized cognition. Untuk memperkuat
 pendekatan mereka, cole membuat suatu studi empiris dan tunjauan 
terhadap literatur.
Dilihat dari Gender
Adanya
 perbedaan reproduksi dan biologis mengarahkan pada pembagian kerja yang
 berbeda antara pria dan wanita dalam keluarga. Perbedaan-perbedaan ini 
pada gilirannya mengakibatkan perbedaan ciri-ciri sifat dan 
karakteristik psikologis yang berbeda antara pria dan wanita. 
Faktor-faktor yang terlibat dalam memahami budaya dan gender tidak 
statis dan unidimensional. Keseluruhan sistem itu dinamis dan saling 
berhubungan dan menjadi umpan balik atau memperkuat sistem itu sendiri. 
Sebagai akibatnya sistem ini bukan suatu unit yang linear dengan 
pengaruh yang berlangsung dalam satu arah, dan semua ini diperoleh dalam
 kehidupan kita sendiri. Dengan demikian budaya mendefinisikan atau 
memberikan batasan mengenai peran, kewajiban, dan tanggung jawab yang 
cocok bagi pria dan wanita.
Dilihat dari segi Kognisi Sosial:
Dalam
 psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari 
sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha 
menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak 
sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep
 kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. 
Sedangkan kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas 
manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan 
kelangsunganhidupnya
Dalam hal individualis:
Diri
 adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Budaya dengan diri 
individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk 
mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk 
membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam
 kerangka tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan 
diri individu.
KOLEKTIVITAS
kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Kolektivitas yaitu budaya , budaya yang mempengaruhi segala aspek aspek dalam budaya.
KOLEKTIVITAS
kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Kolektivitas yaitu budaya , budaya yang mempengaruhi segala aspek aspek dalam budaya.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat (2002). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia
Matsumoto, D. (2002). Culture, psychology, and education. In W. J. Lonner, D. L. Dinnel, S. A.
Hayes, & D. N. Sattler (Eds.), Online Readings in Psychology and 
Culture (Unit 2, Chapter 5), 
(http://www.ac.wwu.edu/~culture/index-cc.htm), Center for Cross-Cultural
 Research, Western Washington University, Bellingham, Washington USA
Triandis, H.C. (1994). Culture and Social Behavior. New York : McGraw-Hill.
Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral.  Karangan Drs. H. 
Burhanuddin,MM. Penerbit Rineka Cipta ISBN : 979-518-761-9 Tahun terbit 
1997
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar