Teori Psikologi humanistik Eksistensial
Psikologi
Eksistensial atau sekarang berkembang dengan nama psikologi Humanistik atau
psikologi holistic berawal dari kajian filsafat yang diawali dari Sorean
Kierkigard tentang eksistensi manusia. Sebelum psikologi modern membuka dirinya
pada pemikiran (school of thought) berbasis emosi dan spiritual yang
transenden, psikologi terlebih dahulu dipengaruhi oleh ide-ide humanistik.
Psikologi humanistik berpusat pada diri, holistik, terobsesi pada aktualisasi
diri, serta mengajarkan optimisme mengenai kekuatan manusia untuk mengubah diri
mereka sendiri dan masyarakat. Terdapat gerakkan eksistensialisme pada abad 19
yang dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Søren Kierkegaard. Dalil utama
dari eksistensialisme adalah keberadaan (existence) individual manusia
yang dialami secara subjektif
Istilah
eksistensi berasal dari akar kata ex-sistere, yang secara literal
berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah in hendak dikatakan oleh
para eksistensialis bahwa eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagai
kumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis,
melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai sesuatu yang “mengada”.
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang bersaha memahami kondisi manusia sebagaimana
memanifestasikan dirinya di dalam situasi-situasi kongkret. Kondisi manusia
yang dimaksud bukanlah hanya berupa ciri-ciri fisiknya (misalnya tubuh dan
tempat tinggalnya), tetapi juga seluruh momen yang hadir pada saat itu
(misalnya perasaan senangnya, kecemasannya, kegelapannya, dan lainnya). Manusia
eksistensial lebih sekedar manusia alam (suatu organisme/alam, objek) seperti
pandangan behaviorisme, akan tetapi manusia sebagai “subjek” serta manusia
dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yakni sebagai kesatuan
individu dan dunianya. Manusia tidak dapat dipisahkan sebagai manusia individu
yang hidup sendiri tetapi merupakan satu kesatuan dengan lingkungan dan
habitatnya secara keseluruhan. Manusia (individu) tidak mempunyai eksistensi
yang dipisahkan dari dunianya dan dunia tidak mungkin ada tanpa ada individu
yang memaknakannya. Individu dan dunia saling menciptakan atau
mengkonstitusikan (co-constitute). Dikatakan saling menciptakan
(co-constitutionality), karena musia dengan dunianya memang tidak bisa
dipisahkan satu dari yang lainnya. Tidak ada dunia tanpa ada individu, dan
tidak ada individu tanpa ada dunia. Individu selalu kontekstual, oleh karena
sebab itu tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia tempat eksistensi
manusia, melalui dunianyalah maka makna eksistensi tampak bagi dirinya dan
orang lain. Sebaliknya individu memberi makna pada dunianya, tanpa diberi makna
oleh individu maka dunia tidak ada sebagai dunia.
Psikologi
eksistensial adalah ilmu pengetahuan empiris tentang eksistensi manusia yang
menggunakan metode analisis fenomenologis. psikologi eksistensial bertentangan
dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu
pengetahuan alam dalam psikologi.
Asal
Muasal Psikologi Eksistensial dalam Psikologi
Tokoh
psikologi eksistensial yang terkenal adalah Ludwig Binswanger
(1881) dan Medard Boss (1903). Psikologi eksistensial menolak
konsep tentang kausalitas, dualisme antara jiwa dan badan, serta pemisahan
orang dari lingkungannya.
Ludwig
Binswager lahir pada tanggal 13 april 1881, di
Kreuzlingen, Swiss di tengah keluarga yang memiliki tradisi kedokteran dan
psikiatrik kuat. Kakeknya, yang namanya kecilnya juga Ludwig adalah pendiri
Belleuve Sanatorium di Kruezlingen pada tahun 1857. ayahnya Robert adalah
direktur Sanatorium tersebut. Pada tahun 1911, Binswanger diangkat menjadi
direktur medis Belleuve sanatorium.
Ludwig
meraih gelar sarjana kedokteran dari University of Zurich tahun1907. Dia
belajar dibawah bimbingan Carl Jung dan menjadi asistennya dalam Freudian
society. Seperti halnya Jung, dia juga lebih terpengaruh Eugen Bleuleur,
seorang psikiatri Swiss terkemuka. Dia adalah salah seorang pengikut pertama
Freud di Swiss. Pada awal 1920-an, Binswanger menjadi salah pelopor pertama dalam
menerapkan fenomenologi dalam psikiatri. Sepuluh tahun kemudian dia menjadi
seorang analisis eksistensial. Binswanger mendefinisikan analisis eksistensial
sebagai analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia yang actual.
Tujuannya adalah rekonstruksi dunia pengalaman batin.
Binswanger
adalah terapis pertama yang menekankan sifat dasar eksistensial dari tipe
krisis yang dialami pasien dalam pengalaman terapi. Binswanger pada dasarnya
berjuang untuk menemukan arti dalam penyakit gila dengan mnerjemahkan
pengalaman para pasien kedalam teori psikoanalisis. Setelah membaca pendekatan
filsafat Heidegger “Being in time” (1962), Binswanger menjadi lebih
eksistensial dan fenomenologis dalam pendekatannya kepada para pasien. Pada
tahun 1956, Binswanger berhenti menjadi direktur Sanatorium setelah menduduki
posisi tersebut selama 45 tahun. Dia terus melakukan studi dan menulis sampai
meninggal pada tahun 1966.
Sedangkan
Medard Boss lahir di St. Gallen, Swiss pada tanggal 4 oktober
1903. kemudian menghabiskan masa mudanya di Zurich pusat aktivitas psikologi
saat itu. Dia menerima gelar kedokteran university of Zurich pada tahun 1928.
kemudian melanjutkan studi ke Paris dan Wina serta membiarkan dirinya
dianalisis oleh S.Freud. Mulai tahun 1928, dia bergabung dengan Carl Jung yang
menunjukkan pada Boss kemungkinan lepasnya psikoloanalisis dari interpretasi
Freudian.
Dalam
masa-masa itu, Boss membaca karya-karya Ludwig Binswanger dan Martin Heidegger.
Pertemuannya dengan Heidegger pada tahun 1964 yang kemudian berlanjut dengan
persahabatannyalah yang membawanya kepada psikologi eksistensial. Pengaruh
dalam eksistensial sangat besar sehingga sering disejajarkan dengan Binswanger.
Konsep
dasar filsafat eksistensialistik sebagai kelompok ketiga menurut Blocher adalah
kerinduan manusia untuk mencari sesuatu yang penting, sesuatu yang bermakna
dalam dirinya. Sesuatu yang paling bermakna di dalam diri seseorang adalah
eksistensi dirinya. Perhatian yang lebih besar terhadap pribadi, terhadap
manusia daripada terhadap system yang formal. Konsep identitas menjadi sesuatu
yang perlu diperhatikan dalam kehidupan manusia. Mengenai ini, Beck (1963)
menyusun beberapa paham dasar sebagai konsep dasar falsafahnya yang diambil
sebagian besar dari filsafat eksistensialisme, sebagai berikut:
- Setiap pribadi bertanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatannnya sendiri.
- Orang harus menganggap orang lain sebagai obyek dari nilai-nilai sebagai bagian dari perhatiannya.
- Manusia berada dalam dunia realitas.
- Kehidupan yang bermakna harus terhindar sejauh mungkin dari ancaman, baik fisik maupun psikis.
- Setiap orang memiliki latar belakang keturunannya sendiri dan memperoleh pengalaman-pengalaman unik.
- Orang bertindak atas dasar pandangan terhadap realitasnya sendiri yang subyektif, tidak karena realitas yang obyektif di luar dirinya.
- Manusia tidak bisa digolongkan sebagai baik atau jahat dari asalnya (by nature).
- Manusia berreaksi sebagai kesatuan organisasi terhadap setiap situasi (Gunarsa, 1996:9-13).
Prinsip
Eksitensi dalam Psikologi
Psikologi
eksistensial tidak mengkonsepsikan perilaku sebagai akibat dari perangsangan
dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang individu bukanlah
mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang terdiri dari insting-insting,
kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan. Manusia memiliki kebebasan untuk
memilih, dan hanya ia sendiri yang bertanggungjawab terhadap eksistensinya.
Manusia dapat mengatasi baik lingkungan maupun badan fisiknya apabila ia memang
memilih begitu. Apa saja yang dilakukannya adalah pilihannya sendiri. Orang
sendirilah yang menentukan akan menjadi apa dia dan apa yang akan dilakukannya.
Lalu
apakah pengaruh eksistensialisme terhadap psikologi? Psikologi eksistensial ini
menjabarkan psikologi yang dilandaskan pada fakta primordial dari dunia pribadi
yang bermakna yang menjadi sasaran dari segenap aktivitas. Salah satu dalil
dasar yang mendasari psikologi eksistensial adalah setiap manusia unik dalam
kehidupan batinnya, dalam mempersepsi dan mengevaluasi dunia, dan dalam
bereaksi terhadap dunia. Perhatiannya adalah pada kesadaran, perasaan-perasaan,
suasana-suasana perasaan, dan pengalaman-pengalaman pribadi individual yang
berkaitan dengan keberadaan individualnya dalam dunia dan di antara sesamanya.
Intinya dari perspektif ini adalah melihat manusia secara keseluruhan sebagai
subjek.
Sebagaimana
tercermin dalam tulisan Binswanger dan Boss, psikologi eksistensial
bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari
ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Tidak ada hubungan sebab akibat
dalam eksistensial manusia, hanya ada rangkaian urutan tingkah laku tetapi
tidak bisa menurunkan kausalitas dari rangkaian tersebut. Sesuatu yang terjadi
pada seorang anak-anak bukan penyebab dari tingkah lakunya kemudian sebagai
seorang dewasa. Peristiwa yang terjadi mungkin memiliki makna eksistensi yang
sama akan tetapi tidak berarti peristiwa A menyebabkan peristiwa B. Psikologi
eksistensial mengganti konsep kausalitas dengan konsep motivasi.
Untuk
menjelaskan perbedaan antara sebab dan motif, Boss mencontohkan dengan jendela
yang tertutup oleh angin dan manusia. Angin menyebabkan jendela tertutup,
tetapi manusia termotif untuk menutup jendela karena ia tahu bahwa jika jendela
terbuka maka air hujan akan masuk. Karena prinsip kausalitas kurang relevan
dengan tingkah laku manusia dan sebaliknya motivasi dan pemahaman merupakan
prinsip-prinsip operatif dalam analisis eksistensial tingkah laku. (Hall,
Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993)
Struktur
Eksistensi Ada-di-Dunia (Dasein)
Merupakan
dasar fundamental dalam psikologi eksistensial. Seluruh struktur eksistensi
manusia didasarkan pada konsep ini. Ada-di-dunia (Dasein) adalah keseluruhan
eksistensi manusia, bukan merupakan milik atau sifat seseorang. Sifat dasar
dari Dasein adalah keterbukaannya dalam menerima dan memberikan respon
terhadap apa yang ada dalam kehadirannya. Manusia tidak memiliki eksistensi
terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki eksistensi terlepas dari manusia.
Dunia dimana manusia memiliki eksistensi meliputi 3 wilayah, yaitu:
Umweit
(dunia biologis, “lingkungan”)
Dunia
objek disekitar kita, dunia natural. Yang termasuk dalam umwelt diantaranya
kebutuhan-kebutuhan biologis, dorongan-dorongan, naluri-naluri, yakni dunia
yang akan terus ada, tempat dimana kita harus menyesuaikan diri. Akan tetapi umwelt
tidak diartikan sebagai “dorongan-dorongan” semata melainkan dihubungkan dengan
kesadaran-diri manusia.
Mitweit
(“dunia
bersama”)
Dunia
perhubungan antar manusia dengan manusia yang lain. Didalamnya terdapat
perhubungan antar berupa interaksi manusiawi yang mengandung makna. Dalam
perhubungan tersebut terdapat perasaan-perasaan seperti cinta dan benci yang
tidak pernah bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat biologis semata.
Eigenwelt
(“dunia
milik sendiri”)
Adalah
kesadaran diri, perhubungan diri dan secara khas hadir dalam diri manusia.
Ada-melampaui-Dunia
(kemungkinan-kemungkinan dalam manusia)
Analisis
eksistensial mendekati eksistensi manusia dengan tidak memakai pandangan lain
selain bahwa manusia ada di dunia, memiliki dunia, ingin melampaui dunia. Akan
tetapi, Binswanger tidak mengartikan ada-melampaui-dunia sebagai dunia lain
melainkan mau mengungkapkan begitu banyak kemungkinan yang dimiliki manusia
untuk mengatasi dunia yang disinggahinya dan memasuki dunia baru. Istilah
melampaui/mengatasi dunianya dikenal juga dengan transendensi yang merupakan
karakteristik khas dari eksistensi manusia serta merupakan landasan bagi kebebasan
manusia.
Karena
hanya dengan mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinan tersebut ia dapat
menjalani kehidupan yang otentik, apabila ia menyangkal atau membatasi
kemungkinan-kemungkianan yang penuh dari eksistensinya atau membiarkan dirinya
dikuasai oleh orang-oarang lain atau oleh lingkungannya, maka manusia itu hidup
dalam suatu eksistensi yang tidak otentik. Manusia bebas memilih salah satu
dari keduanya.
Dasar
Eksistensi
Manusia
dapat hidup dengan bebas, akan tetapi bukan berarti tanpa adanya batas-batas.
Salah satu batas adalah dasar eksistensi kemana orang-orang “dilemparkan”.
Kondisi “keterlemparan” ini, yakni cara manusia menemukan dirinya dalam dunia
yang menjadi dasarnya, merupakan nasibnya. Manusia harus hidup sampai nasibnya
berakhir untuk mencapai kehidupan yang otentik. Keterlemparan juga diartikan
sebagai keadaan diperdaya oleh dunia, dengan akibat orang-orang menjadi
terasing dari dirinya sendiri.
Rancangan
Dunia
Rancangan
dunia adalah istilah Binswanger untuk menyebut pola yang meliputi cara ada di
dunia seorang individu. Rancangan dunia seseorang menentukan cara bagaimana ia
akan bereaksi terhadap situasi-situasi khusus serta ciri sifat dan simpton
macam mana yang akan dikembangkannya.batas-batas dari rancangan tersebut
mungkin sempit, dan mengerut atau mungkin lebar dan meluas.
Binswanger
mengamati bahwa jika rancangan dunia dikuasai oleh sejumlah kecil kategori,
maka ancamannya akan lebih cepat dialami dibandingkan bila rancangan dunia
terdiri dari bermacam-macam kategori. Pada umumnya, orang memiliki lebih dari
satu rancangan dunia.
Cara-cara
Ada Dunia
Ada
banyak cara yang berbeda untuk ada di dunia, setiap cara merupakan Dasein memahami,
menginterpretasikan, dan mengungkap dirinya. Diantaranya, cara jamak (dengan
menjalin hubungan-hubungan formal, kompetisi, dan perjuangan), cara tunggal
(untuk dirinya sendiri), dan cara anonimitas (tenggelam di tengah orang
banyak). Biasanya orang tidak hanya memiliki satu cara eksistensi, tetapi
banyak.
Eksistensial
Boss
tidak berbicara tentang cara-cara ada di dunia dengan arti sama seperti yang
dikemukakan oleh Binswanger. Boss lebih membicarakan mengenai sifat-sifat yang
melekat pada eksistensi manusia, selain itu hal lain yang dibicarakan oleh Boss
adalah spasialitas eksistensi (keterbukaan dan kejelasan merupakan spasialitas
(tdk diartikan dalam jarak) yang sejati dalam dunia manusia), temporalitas
eksistensi (waktu (bkn jam) yang digunakan/dihabiskan manusia untuk….), badan
(ruang lingkup badaniah dalam pemenuhan eksistensi manusia), eksistensi dalam
manusia milik bersama (manusia selalu berkoeksistensi atau tinggal
bersama orang lain dalam dunia yang sama), dan suasana hati atau penyesuaian
(apa yang diamati dan direspon seseorang tergantung pada suasana hati saat
itu).
Dinamika
Eksistensi
Psikologi
eksistensial tidak mengkonsepsikan tingkah laku sebagai akibat dari perangsang
dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang individu bukanlah
mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang terdiri dari insting-insting,
kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan.
Akan
tetapi ia memiliki kebebasan untuk memilih dan hanya ia sendiri yang
bertanggung jawab terhadap eksistensinya. Apa saja yang dilakukannya adalah
pilihannya sendiri, orang sendirilah yang menentukan akan menjadi apa dia dan
apa yang akan dilakukannya.
Perkembangan
Eksistensi
Konsep
eksistensial perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang menjadi.
Eksistensi tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam proses menjadi
sesuatu yang baru, mengatasi diri sendiri. Tujuannya adalah untuk menjadi
manusia sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan Dasein.
Menjadi
orang dan menjadi dunia selalu berhubungan, keduanya merupakan mitra menjadi (co-becoming,
Strauss). Orang menyingkap kemungkinan-kemungkinan dari eksistensinya melalui
dunia, dan sebaliknya dunia tersingkap oleh orang yang ada di dalamnya.
Manakala bila yang satu tumbuh dan berkembang maka yang juga harus tumbuh dan
berkembang begitu pula sebaliknya apabila yang satu terhambat maka yang juga
terhambat. Bahwa kehidupan berakhir dengan kematian sudah merupakan fakta yang
diketahui oleh setiap orang.
Terapi
Inti
terapi eksistensial adalah hubungan antara terapi dengan kliennya. Hubungan ini
disebut pertemuan. Pertemuan adalah kehadiran asal satu Dasein kehadapan Dasein
yang lain, yakni sebuah “ketersingkapan” satu Dasein terhadap yang lainnya.
Berbeda dengan terapi-terapi formal, seperti terapi gaya Freud, atau
terapi-terapi yang “teknis”, seperti terapi gaya behavioris, para terapis
eksistensial sepertinya ingin terlibat intim dengan Anda. Saling beri dan
saling terima adalah bagian paling alami dari pertemuan, bukan untuk saling
menghakimi dan memojokkan. (Boeree, C.George, 2004)
Para
analasis eksistensial menyadari kompleksitas manusia yang mereka hadapi di
ruang-ruang praktek mereka. Mereka menyadari bahwa manusia bukan hanya
merupakan makhluk biologis atau fisik, melainkan juga sebagai makhluk yang unik
dan mempunyai kesadaran. Dengan perkataan lain, manusia tidak lain adalah tubuh
(organisme) yang berkesadaran. Oleh sebab itu, mereka beranggapan bahwa
pendekatan analisis eksistensial tentunya diperlukan, karena menwarkan
kejernihan analisis atas pasien-pasien mereka. Gejala manusia dan
pengalaman-pengalamannya tentu saja tidak bisa dikuantitafikasikan dan
digeneralisasi begitu saja. Perlu pengungkapan yang lebih spesifik. Analisis
eksistensial dianggap mampu melakukan tugas itu.
Dalam
analisis eksistensial yang dilakukan Binswanger sebagai metode baru yang
berbeda dari metode-metode yang ada sebelumnya, terlihat dalam kasus yang
ditanganinya yaitu kasus “Ellen West” yang merupakan salah seorang pasiennnya.
Binswanger mengadakan analisis fenomenologis mengenai tingkah lakunya dan
menggunakan penemuan-penemuan tersebut untuk merumuskan eksistensi atau
cara-cara ada-di-dunia pasien tersebut. Ia menyelidiki arsip-arsip di
Sanotarium dan memilih kasus seorang gadis muda, yang pernah berusaha untuk
melakukan bunuh diri. Kasus ini menarik karena selain buku harian,
catatan-catatan pribadi dan puisi-puisinya yang penuh pesona, juga karena
sebelum dirawat di sanotarium, ia telah dirawat lebih dari dua periode oleh
para psikoanalis dan selama di sanitarium ia telah menerima perawatan dari
Bleuler dan Kraepelin. Dalam analisis eksistensial (yang tekanannya lebih pada
terapi), Binswanger pertama-tama menganalisis asumsi-asumsi yang mendasari
hakekat manusia kemudian ia berhasil sampai pada pemahaman mengenai struktur
tempat diletakkannya segenap system terapeutik. (Zainal A., 2002)
Medard
Boss menggunakan analisis mimpi dalam terapinya terhadap seorang pasien yang
menderita obsesional-complusive. Pasien ini menderita kompulsi-kompulsi untuk
mencuci tangan dan membersihkan, ia sering bermimpi tentang menara-menara
gereja. Pasien ini sebelumnya telah menjalani analisa Freudian dan
menginterpretasikan isi mimpi tersebut sebagai simbol-simbol phalik serta
menjalani analisa Jungian yang menghubungkannya dengan simbol-simbol arketif religius. Dalam dengan Boss sang pasien menceritakan
tentang mimpi-mimpinya yang datang berulang-ulang seperti ia mendekati sebuah
pintu kamar mandi yang selalu terkunci. Boss menunjukkan dalam pembahasannya
tenang kasus itu bahwa pasien merasa bersalah, karena telah mengunci beberapa
potensi yang sangat penting dalam dirinya. Ia mengunci baik
kemungkinan-kemungkinan pengalaman badaniahnya maupun spiritualnya atau aspek
“dorongannya” dan aspek “tuhannya”, semua itu dilakukannya untk melarikan diri
dari semua masalah yang dihadapinya. Menurutnya pasien merasa bersalah bukan
semata-mata bahwa ia mempunyai rasa bersalah. Pasien tidak menerima dan tidak
memasukkan kedua aspek tersebut ke dalam eksistesinya, maka ia merasa bersalah
dan berhutang pada dirinya. Pemahaman mengenai rasa bersalah tidak ada
hubungannya dengan sikap menilai (“judgmental attitude”), yang perlu dilakukan
hanyalah memperhatikan kehidupan dan pengalaman pasien secara sungguh-sungguh
dan penuh rasa hormat.
Pandangan
Islam tentang Eksistensi Manusia
“Sungguh
kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia
mendengar dan melihat. Sungguh kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang
lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Al-Insan : 2-3)
Berbicara
mengenai eksistensi manusia yang dalam hal ini psikologi eksistensial terdapat
beberapa hal yang memiliki kesamaan dengan yang diajarkan dalam Islam. Seperti
yang terdapat pada ayat diatas, dapat kita ambil makna bahwa sesungguhnya
manusia diberikan kebebasan untuk memilih kebaikan ataupun keburukkan untuk
hidup yang jelas Allah SWT telah memberikan petunjuk yang benar dan lurus,
apabila kemudian mereka (manusia) mau bersyukur ataupun kufur tergantung kepada
manusia itu sendiri. Karena Allah SWT telah memberikan potensi-potensi kepada
manusia untuk dikembangkan dan digunakan sebaik-baiknya. Dalam memandang
kebebasan menusia untuk berbuat sesuatu untuk hidupnya psikologi eksistensi
juga mengungkapkan hal tersebut, manusia akan hidup dalam eksistensinya
walaupun dengan pilihan hidup yang otentik dan tidak otentik manusia itu
sendiri juga yang memilihnya. Namun ada hal yang tidak dapat ditemukan oleh
pemakalah dalam eksistensi manusia itu sendiri. Yaitu dari mana manusia itu
berasal sehingga bisa menjadi ada-di-dunia atau disebut Dasein. Manusia
tidak memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki
eksistensi terlepas dari manusia. Tidak ada penjelasan bagaimana manusia dan
dunia bisa ada. Kami memang menemukan aspek “tuhan” serta ‘spiritual’ pada
analisa mimpi yang dilakukan oleh Boss akan tetapi penjelasan aspek tersebut
tidak ditemukan. Seolah-olah manusia dan dunia muncul dengan begitu saja
kemudian manusia itu menyadari keberadaannya maka dia ‘ada’. Sedangkan dalam
ayat diatas jelas manusia diciptakan dari setetes mani yang bercampur oleh
Allah SWT.
Begitu
pula dalam surat Ar-Rahman ayat 4, “ Dia menciptakan manusia” serta pada
ayat 7&10, “Dan langit telah ditingggikan-Nya dan Dia ciptakan
keseimbangan.(7) Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya.(10)”.
Bahwa manusia dan dunia adalah hasil ciptaan Allah SWT. dan tidak begitu saja
ada. Memang dalam teori in terdapat konsep transendensi, akan tetapi pengertian
transendensi disini menekankan pada cara manusia untuk melampaui/mengatasi
permasalahan dunianya.
Kelemahan
dalam Psikologi Eksistensial
Salah
satu kritik terhadap psikologi eksistensial adalah ketika psikologi telah
diperjuangkan untuk dapat membebaskan diri dari dominasi filsafat, justru
psikologi eksistensial secara terang-terangan menyatakan kemuakkannya terhadap
positivisme dan determinisme. Para psikolog di Amerika yang telah
memperjuangkan kemerdekaan psikologi dari filsafat jelas menentang keras segala
bentuk hubungan baru dengan filsafat. Banyak psikolog merasa bahwa psikologi
eksistensial mencerminkan suatu pemutusan yang mengerikan dengan jajaran ilmu
pengetahuan, karena itu membahayakan kedudukan ilmu psikologi yang telah
diperjuangkan dengan begitu susah payah.
Salah
satu konsep eksistensial yang paling ditentang oleh kalangan psikologi “ilmiah”
ialah kebebasan individu untuk menjadi menurut apa ynag diinginkannya. Jika
benar, maka konsep in sudah pasti meruntuhkan validitas psikologi yang
berpangkal pada konsepsi tengtang tingkah laku yang sangat deterministic.
Karena jika manusia benar-benar bebas menentukan eksistensinya, maka seluruh
prediksi dan control akan menjadi mustahil dan nilai eksperimen menjadi sangat
terbatas. (Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993)
Banyak
psikolog dan sarjana psikologi baik dalam maupun luar negeri mempertanyakan
keberadaan analisis eksistensial. Yang mereka pertanyakan menyangkut
dasar-dasar ilmiah dari analisis eksistensial. Psikologi sebagai ilmu telah
lama diupayakan untuk melepaskan diri dan berada jauh dari filsafat. Psikologi
harus merupakan suatu science (ilmu pasti alami) yang independent. Padahal,
analisis eksistensial mengeritik ilmu (science) dan mengambil manfaat dari
filsafat (fenomenologi dan eksistensialisme). Atas dasar itu, banyak sarjana
psikologi yang bertanya, apakah analisis eksistensial relevan dengan
perkembangan ilmu psikologi modern?
Jawaban
atas pertanyaan itu tergantung pada pemahaman kita tentang manusia. Siapakah
atau apakah manusia itu? Apakah manusia pada dasarnya hanya merupakan bagian
dari organisme dan atau dari materi (aspek fisik kehidupan)? Jika kita memahami
manusia sebgaimana para behavioris atau psikoanalis memahaminya, yakni bahwa
manusia pada dasarnya merupakan bagian dari organisme atau materi, maka
analisis eksistensial tampaknya tidak diperlukan. Cukup dengan pendekatan
kuantitatif dan medis, dengan eksperimen dan pembedahan otak musia, maka kita
sudah cukup mampu memahami dan menyembuhkan individu (manusia) yang bermasalah
(patologis). Namun, dalam praktek atau kenyataan, kita menyaksikan bahwa
manusia ternyata jauh lebih kompleks dari sekedar organisme dan materi. (Zainal
A., 2002)
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar