Logoterapi
1. Sejarah
Logoterapi dikemukakan oleh Viktor Emile Frankl. Frankl lahir pada 
tanggal 26 Maret 1905 di Wina dari pasangan Gabriel Frankl dan Elsa 
Frankl. Frankl yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dibesarkan
 dalam keluarga yang religius dan berpendidikan. Ibunya seorang Yahudi 
yang taat, dan Ayahnya merupakan pejabat Departemen Sosial yang banyak 
menaruh perhatian pada kesejahteraan sosial. Frankl menaruh minat yang 
besar terhadap persoalan spiritual, khususnya berkenaan dengan makna 
hidup (Koeswara, 1992).
2. Pengertian
Logoterapi adalah bentuk penyembuhan melalui penemuan makna dan 
pengembangan makna hidup, dikenal dengan therapy through meaning. 
Bastaman (2007) menambahkan selain therapy through meaning, logoterapi 
juga bisa disebut health through meaning. Logoterapi juga dapat 
diamalkan pada orang-orang normal. 
Dalam psikologi, logoterapi dikelompokkan dalam aliran eksistensial atau
 Psikologi Humanistik. Logoterapi dapat dikatakan sebagai corak 
psikologi yang memandang manusia, selain mempunyai dimensi ragawi dan 
kejiwaan, juga mempunyai dimensi spiritual, serta beranggapan bahwa 
makna hidup (the meaning of life) dan hasrat akan hidup bermakna (the 
will to meaning) merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang 
spiritual tidak selalu identik dengan agama, tetapi dimensi ini 
merupakan inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup yang paling 
tinggi (Bastaman, 2007).  
Logoterapi mempunyai landasan filosofis yaitu: kebebasan berkeinginan, 
keinginan akan makna, dan makna hidup (Koeswara, 1992). Dalam kebebasan 
berkeinginan, Frankl memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan 
berkeinginan dalam batas tertentu. Manusia tidaklah bebas dari 
kondisi-kondisi fisik, lingkungan, dan psikologis, namun manusia 
mempunyai kebebasan untuk mengambil sikap terhadap kondisi-kondisi 
seperti itu. Keinginan akan makna merupakan motivasi utama manusia. 
Frankl memandang bahwa kesenangan, bukanlah tujuan utama manusia. Ia 
memandang bahwa kesenangan hanyalah efek dari pemenuhan dorongan dalam 
mencapai tujuan yaitu makna hidup. Makna hidup dapat ditemukan dalam 
keadaan apapun, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan.
Inti dari ajaran logoterapi adalah:
a. Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna. 
b. Kehendak akan hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap manusia. 
c. Dalam batasan-batasan tertentu manusia memiliki kebebasan dan 
tanggung jawab pribadi untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan
 tujuan hidupnya.
d. Hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai 
kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai 
penghayatan (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal
 values).
3. Konsep Dasar Logoterapi
a. Makna Hidup (Meaning of Life)
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga 
serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup terkait dengan
 alasan dan tujuan dari kehidupan itu sendiri. 
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), makna hidup bersifat objektif dan
 berada di luar diri manusia. Makna hidup bukanlah sesuatu yang 
merupakan hasil dari pemikiran idealistik dan hasrat-hasrat atau naluri 
dari manusia. Makna hidup bersifat objektif dan berada di luar manusia 
karena ia menantang manusia untuk meraihnya. Jika status objektif tidak 
dimiliki oleh makna, maka makna tidak akan bersifat menuntut dan tidak 
akan menjadi tantangan. Kekuasaan misalnya, bukanlah merupakan bagian 
dari manusia itu sendiri, namun sesuatu yang berada di luar diri manusia
 yang harus dicapai apabila sesorang menginginkannya. Begitu juga dengan
 makna, apabila seseorang menginginkannya maka dia harus berusaha 
menggapainya melalui usaha sendiri dan bukan merupakan pemberian dari 
orang lain.
Makna hidup juga bersifat subjektif. Artinya makna hidup bersifat 
pribadi dan berbeda pada setiap individu. Sesuatu yang bermakna bagi 
sesorang bisa jadi tidak mempunyai makna apa-apa bagi orang lain. 
Subjektivitas ini berasal dari fakta bahwa makna yang akan dan perlu 
dicapai oleh individu adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya 
dalam situasi tertentu. Setiap individu adalah unik, juga kehidupannya. 
Kehidupan seseorang tidak bisa dipertukarkan dengan kehidupan seseorang 
yang lainnya, juga perspektifnya. Dari masing-masing perspektifnyalah 
setiap individu melihat dunia nilai-nilai.
Bastaman (2007) menyatakan bahwa makna hidup bersifat memberi pedoman 
dan arah. Makna hidup memberikan sebuah arahan terhadap kegiatan dan 
aktifitas keseharian dalam kehidupan sesorang. Makna hidup merupakan 
sesuatu yang identik dengan tujuan, hal itu akan menjadi sebuah titik 
tuju dalam kehidupan seseorang yang akan mengarahkan hidupnya dalam 
rangka menuju titik tujuan tersebut. Begitu makna hidup ditemukan dan 
tujuan hidup ditentukan, individu akan terpanggil untuk melaksanakan dan
 memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan individu pun menjadi lebih terarah
 kepada pemenuhan itu.
Makna hidup melampaui intelektualitas manusia. Makna hidup tidak bisa 
hanya dicapai dengan usaha berpikir tanpa adanya usaha implementasi 
dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui sesuatu yang bermakna bagi
 kita perlu melalui proses intelektual. Namun, hal ini hanya merupakan 
sebuah pengetahuan belaka dan tidak memberi makna, ketika kita tidak 
menjalankan sebuah komitmen dan implementasi dari sesuatu yang kita 
anggap bermakna tersebut. 
Hal ini pula yang menyebabkan Frankl merumuskan bahwa sumber-sumber dari
 makna hidup tidak hanya dicapai dengan sebatas usaha intelektual. Namun
 makna hidup dapat dicapai dengan menerapkan nilai-nilai dalam 
kehidupan. Nilai-nilai ini dianggap sebagai sumber makna hidup. 
Nilai-nilai kehidupan yang dianggap sebagai sumber makna hidup antara 
lain: nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai 
bersikap (Booree, 2007). 
b. Nilai-nilai Kreatif
Nilai-nilai kreatif merupakan nilai-nilai yang didapat dengan cara 
beraktivitas secara langsung terhadap suatu pekerjaan yang bisa membawa 
diri kita merasa bermakna. Pekerjaan ini tidak hanya terbatas pada 
pekerjaan yang bersifat formal dan menghasilkan uang, namun juga 
pekerjaan-pekerjan yang bersifat non-profit. Dalam sebuah pekerjaan, 
Frankl menekankan bahwa apapun pekerjaan itu dapat memberikan makna 
terhadap individu yang melakukannya.
Yang penting dalam aktivitas kerja bukanlah lingkup atau luasnya, 
melainkan bagaimana seseorang bekerja sehingga dia bisa mengisi penuh 
lingkaran aktivitasnya itu. Juga, tidak menjadi soal, apa bentuk 
aktivitas itu dan siapa yang melaksanakannya. Rakyat kecil atau orang 
kebanyakan yang secara sungguh-sungguh dan menjalankan tugas kongkret 
yang memungkinkan diri dan keluarganya hidup, terlepas dari fakta bahwa 
kehidupannya itu kecil, lebih besar dan lebih unggul dibanding dengan 
seorang negarawan besar yang menentukan nasib jutaan orang dengan 
goresan penanya, tetapi putusan-putusannya ceroboh dan membawa berbagai 
akibat buruk.
Namun disini yang perlu ditekankan bahwa pekerjaan itu sendiri terlepas 
dari makna, sehingga suatu pekerjaan tertentu tidak bisa menjamin 
pemenuhan makna. Lagi-lagi semua itu tergantung pada seseorang yang 
menjalaninya dan mempersepsi dari suatu pekerjaan itu. Dalam pembahasan 
berkenaan dengan nilai-nilai kreatif ini banyak ditekankan pada hal 
pekerjaan. Namun disini arah pembahasan Frankl tersebut lebih mengarah 
pada bagaimana seseoarang berkarya yang dirasa bermanfaat dan bermakna 
melalui pekerjaan yang dilakukan.
c. Nilai-nilai Penghayatan
 Nilai-nilai penghayatan merupakan suatu kegiatan menemukan makna dengan
 cara meyakini dan menghayati sesuatu. Sesuatu ini dapat berupa 
kebenaran, kebajikan, keyakinan agama, dan keimanan. Frankl percaya 
bahwa seseorang dapat menemukan makna dengan menemui kebenaran, baik 
melalui keyakinan agama atau yang bersumber dari filsafat hidup yang 
sekuler sekalipun. Keyakinan beragama merupakan salah satu dari berbagai
 keyakinan yang dapat memberikan makna hidup. 
Dalam keberagamaan orang dapat menemukan makna dan arti dalam 
kehidupannya. Tidak sedikit orang yang mencurahkan seluruh kehidupannya 
kepada agama. Selain itu orang-orang sekuler juga dapat menemukan makna 
di luar hal-hal yang bersifat agama. Seperti orang-orang yang berwatak 
sosialis, misalnya, mereka merasa menemukan makna dengan memahami 
filsafat materialis dan mengamalkan ajarannya. Ada juga orang yang 
dengan meyakini kebenaran-kebenaran universal dan menjalaninya seperti 
menolong sesama dan menjadi pekerja-pekerja sosial.
d. Nilai-nilai Bersikap
Nilai ini merupakan sikap yang diambil terhadap sebuah penderitaan yang 
tidak dapat dielakkan atau tak terhindarkan  (inavoid moment). Hal ini 
bisa dalam bentuk kematian seseorang yang dicintai, penyakit yang tak 
dapat disembuhkan atau kecelakaan yang tragis. Dalam kehidupan 
sehari-hari mungkin hal ini sama halnya dengan takdir yang dikenal dalam
 masyrakat kita. Sikap-sikap yang dikembangkan dalam hal ini antara lain
 menerima dengan ketabahan, kesabaran, dan  keberanian segala bentuk 
penderitaan yang tidak dapat dielakkan. 
Hal ini, menurut Frankl, bisa dilakukan karena manusia mempunyai 
kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri (self detachment). 
Dengan kemampuan ini manusia mampu menjadi hakim terhadap dirinya dan 
akhirnya bisa menetukan sikap yang tepat terhadap apa yang menimpanya. 
Ketika seseorang larut dalam sebuah keadaan tragis dan terus 
meratapinya, Ia cendrung menjadi sebagai objek dari sebuah keadaan dan 
tidak bisa melihat dan menarik diri serta menjadikan dirinya sebagai 
subjek yang mengambil kebijakan dalam hidupnya. Karena dengan kemampuan 
self detachment manusia bisa menjadi subjek sekaligus menjadi objek atas
 semua perbuatannya.
e.  Dimensi Manusia dalam Logoterapi
Logoterapi memandang manusia mempunyai dimensi spiritual, selain dimensi
 fisik dan dimensi kejiwaan (Fabry, 1980). Dalam aliran-aliran psikologi
 seperti psikoanalisa dan behavior, spiritualitas sangat diabaikan. 
Psikoanalisa hanya menekankan pada aspek-aspek psikologis yang merupakan
 wujud dari tuntutan kebutuhan jasmani. Sedangkan behavior menekankan 
aspek fisik atau perilaku yang tampak. 
Dalam pandangan logoterapi ketiga dimensi manusia ini (fisik, 
psikologis, dan spiritual) tidak boleh diabaikan dalam rangka memahami 
manusia seutuhnya. Dimensi spiritual dalam pandangan Frankl tidak selalu
 identik dengan agama. Setiap orang mempunyai dimensi spiritual 
sekalipun pada penganut atheis.
Dimensi spiritualitas dari manusia bersifat universal sebagaimana 
dimensi fisik dan psikologis. Frankl juga menyebut dimensi spiritual ini
 dengan “nootic” untuk menghindari term spiritual yang diidentikan 
dengan agama tertentu. Dimensi spiritual ini merupakan dimensi khas 
manusia dimana tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sebagai dimensi khas 
manusia, dimensi spiritual (nootic) ini terdiri dari kualitas-kualitas 
insani seperti hasrat akan makna, orientasi tujuan, iman, cinta kasih, 
kretivitas, imaginasi, tanggung jawab, self transcendence, komitmen, 
humor dan kebebasan dalam mengambil keputusan (Bastaman, 2007). 
Kualitas-kualitas diatas memang merupakan kualitas insani yang khas 
manusia. Dalam kajian psikologi behavior dan psikoanalisa, aspek-aspek 
yang berkenaan dengan kualitas insani di atas tidak mendapatkan tempat. 
Dengan tetap mempertahankan metode positivistic, kualitas insani manusia
 terabaikan hanya dengan alasan bahwa aspek tersebut tidak termasuk 
dalam kajian bidang keilmuan yang bersifat empiris dan objektif.
f. Sindroma Ketidakbermaknaan
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), seseorang yang tidak menemukan 
makna hidup akan mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrom of 
meaninglessness). Sindroma ini terdiri dari dua tahapan yaitu kevakuman 
eksistensi (existential vacum) dan neurosis noogenik. 
Kevakuman eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak 
terpenuhi. Gejala-gejala yang ditimbulkan dari kevakuman eksistensial 
ini antara lain perasaan hampa, bosan, kehilangan inisiatif, dan 
kekosongan dalam hidup. Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol 
pada masyarakat modern saat ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat 
modern yang sudah terlalu jauh meninggalkan hal-hal yang bersifat religi
 dan moralitas. Hal ini juga diakui para terapis yang berada di barat 
bahwa mereka sering menghadapi pasien dengan keluhan-keluhan yang 
menyangkut permasalahan yang terkait makna hidup seperti merasa tidak 
berguna dan perasaan hampa. 
Untuk menunjukkan kemunculan fenomena tersebut, Frankl (Koeswara, 1992) 
menunjuk survei yang mengungkapkan bahwa 40% mahasiswa yang berasal dari
 Jerman, Swiss, dan Austria mengaku mengalami perasaan absurd, ragu akan
 maksud dan tujuan atau makna hidup mereka sendiri. Sedangkan para 
mahasiswa yang berasal dari Amerika Serikat mengalami hal yang sama 
dengan presentase 81%.  
Frankl menekankan bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah 
penyakit dalam pengertian klinis. Frankl menyimpulkan bahwa frustasi 
eksistensi adalah sebuah penderitaan batin ketika pemenuhan akan hasrat 
untuk mempunyai hidup yang bermakna terhambat. Frankl menyatakan bahwa 
kevakuman eksistensial tersebut bermanifestasi dalam bentuk neurosis 
kolektif, neurosis hari Minggu, neurosis pengangguran dan pensiunan, dan
 penyakit eksekutif. Beberapa bentuk manifestasi ini gejalanya sama 
yaitu kebosanan dan kehampaan, namun terdapat pada kondisi, individu dan
 waktu tertentu.
Neurosis noogenik merupakan sebuah simptomatologi yang berakar kevakuman
 eksistensialis. Frankl menerangkan bahwa neurosis ini terjadi apabila 
kevakuman eksistensialis disertai dengan simptom-simptom klinis. Disini 
permasalahan patologis tersebut berakar pada dimensi spiritual dan 
noologis yang berbeda dengan neurosis somatogenik (neurosis yang berakar
 pada fisiologis) maupun neurosis psikogenik (neurosis yang berakar pada
 permasalahan psikologis. Menurut Frankl neurosis noogenik itu sendiri 
dapat timbul dengan berbagai neurosis klinis seperti depresi, 
hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan.
Orang yang mengalami kehampaan dan kekosongan hidup mungkin lari kepada 
alkohol dan narkoba dalam rangka mengisi kekosongan hidup tersebut. 
Kasus alkoholik dan narkoba yang berakar pada permasalahan kevakuman 
eksistensialis inilah disebut dengan neurosis noogenik (Koeswara, 1990).
B. Terapi Logoterapi
1. Intensi Paradoksikal 
Teknik intensi paradoksikal merupakan teknik yang dikembangkan Frankl 
berdasarkan kasus kecemasan antispatori, yaitu kecemasan yang 
ditimbulkan oleh antisipasi individu atas suatu situasi atau gejala yang
 ditakutinya (Koeswara, 1992).
Intensi paradoksikal adalah keinginan terhadap sesuatu yang ditakuti. 
Landasan dari intensi paradoksikal adalah kemampuan manusia untuk 
mengambil jarak atau bebas bersikap terhadap dirinya sendiri (Boeree, 
2007). Frankl (dalam Koeswara, 1992) mencatat bahwa pola reaksi atau 
respon yang biasa digunakan oleh individu untuk mengatasi kecemasan 
antisipatori adalah menghindari atau lari dari situasi yang menjadi 
sumber kecemasan. 
Contohnya, individu yang menghindari eritrofobia selalu cemas 
kalau-kalau dirinya gemetaran dan mandi keringat ketika berada di dalam 
ruangan yang penuh dengan orang. Kemudian, karena telah ada antisipasi 
sebelumnya, individu benar-benar gemetaran dan mandi keringat ketika dia
 memasuki ruangan yang penuh dengan orang. Individu pengidap eritrofobia
 ini berada dalam lingkaran setan. Gejala gemetaran dan mandi keringat 
menghasilkan kecemasan, kemudian kecemasan antisipatori ini menimbulkan 
gejala-gejala gemetaran dan mandi keringat. Jadi gejala antisipatori 
mengurung individu di dalam kecemasan terhadap kecemasan (Koeswara, 
1992).
2. Derefleksi
Derefleksi merupakan teknik yang mencoba untuk mengalihkan perhatian 
berlebihan ini pada suatu hal di luar individu yang lebih positif. 
Derefleksi memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang ada pada 
manusia. Dengan teknik ini individu diusahakan untuk membebaskan diri 
dan tak memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk kemudian 
lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan 
bermanfaat. Dengan berusaha mengabaikan keluahannya, kemudian 
mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala, kemudian 
mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala hyper intention akan
 menghilang (Bastaman, 2007).
Pasien dengan teknik ini diderefleksikan dari gangguan yang dialaminya 
kepada tugas tertentu dalam hidupnya atau dengan perkataan lain 
dikonfrontasikan dengan makna. Apabila fokus dorongan beralih dari 
konflik kepada tujuan-tujuan yang terpusat pada diri sendiri, maka hidup
 seseorang secara keseluruhan menjadi lebih sehat, meskipun boleh jadi 
neurosisnya tidak hilang sama sekali.  
3. Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani adalah metode yang khusus digunakan terhadap pada 
penanganan kasus dimana individu berada pada penderitaan yang tidak 
dapat terhindarkan atau dalam suatu keadaan yang tidak dapat dirubahnya 
dan tidak mampu lagi berbuat selain menghadapinya (Koeswara, 1992). 
Pada metode ini, individu didorong untuk merealisasikan nilai bersikap 
dengan menunjukkan sikap positif terhadap penderitaanya dalam rangka 
menemukan makna di balik penderitaan tersebut. 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar