Selasa, 16 April 2013

 Logoterapi

1. Sejarah
Logoterapi dikemukakan oleh Viktor Emile Frankl. Frankl lahir pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina dari pasangan Gabriel Frankl dan Elsa Frankl. Frankl yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dibesarkan dalam keluarga yang religius dan berpendidikan. Ibunya seorang Yahudi yang taat, dan Ayahnya merupakan pejabat Departemen Sosial yang banyak menaruh perhatian pada kesejahteraan sosial. Frankl menaruh minat yang besar terhadap persoalan spiritual, khususnya berkenaan dengan makna hidup (Koeswara, 1992).

2. Pengertian
Logoterapi adalah bentuk penyembuhan melalui penemuan makna dan pengembangan makna hidup, dikenal dengan therapy through meaning. Bastaman (2007) menambahkan selain therapy through meaning, logoterapi juga bisa disebut health through meaning. Logoterapi juga dapat diamalkan pada orang-orang normal.
Dalam psikologi, logoterapi dikelompokkan dalam aliran eksistensial atau Psikologi Humanistik. Logoterapi dapat dikatakan sebagai corak psikologi yang memandang manusia, selain mempunyai dimensi ragawi dan kejiwaan, juga mempunyai dimensi spiritual, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat akan hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang spiritual tidak selalu identik dengan agama, tetapi dimensi ini merupakan inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup yang paling tinggi (Bastaman, 2007).
Logoterapi mempunyai landasan filosofis yaitu: kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna, dan makna hidup (Koeswara, 1992). Dalam kebebasan berkeinginan, Frankl memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan berkeinginan dalam batas tertentu. Manusia tidaklah bebas dari kondisi-kondisi fisik, lingkungan, dan psikologis, namun manusia mempunyai kebebasan untuk mengambil sikap terhadap kondisi-kondisi seperti itu. Keinginan akan makna merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang bahwa kesenangan, bukanlah tujuan utama manusia. Ia memandang bahwa kesenangan hanyalah efek dari pemenuhan dorongan dalam mencapai tujuan yaitu makna hidup. Makna hidup dapat ditemukan dalam keadaan apapun, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan.
Inti dari ajaran logoterapi adalah:
a. Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna.
b. Kehendak akan hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap manusia.
c. Dalam batasan-batasan tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan tujuan hidupnya.
d. Hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai penghayatan (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).
3. Konsep Dasar Logoterapi
a. Makna Hidup (Meaning of Life)
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup terkait dengan alasan dan tujuan dari kehidupan itu sendiri.
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), makna hidup bersifat objektif dan berada di luar diri manusia. Makna hidup bukanlah sesuatu yang merupakan hasil dari pemikiran idealistik dan hasrat-hasrat atau naluri dari manusia. Makna hidup bersifat objektif dan berada di luar manusia karena ia menantang manusia untuk meraihnya. Jika status objektif tidak dimiliki oleh makna, maka makna tidak akan bersifat menuntut dan tidak akan menjadi tantangan. Kekuasaan misalnya, bukanlah merupakan bagian dari manusia itu sendiri, namun sesuatu yang berada di luar diri manusia yang harus dicapai apabila sesorang menginginkannya. Begitu juga dengan makna, apabila seseorang menginginkannya maka dia harus berusaha menggapainya melalui usaha sendiri dan bukan merupakan pemberian dari orang lain.
Makna hidup juga bersifat subjektif. Artinya makna hidup bersifat pribadi dan berbeda pada setiap individu. Sesuatu yang bermakna bagi sesorang bisa jadi tidak mempunyai makna apa-apa bagi orang lain. Subjektivitas ini berasal dari fakta bahwa makna yang akan dan perlu dicapai oleh individu adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya dalam situasi tertentu. Setiap individu adalah unik, juga kehidupannya. Kehidupan seseorang tidak bisa dipertukarkan dengan kehidupan seseorang yang lainnya, juga perspektifnya. Dari masing-masing perspektifnyalah setiap individu melihat dunia nilai-nilai.
Bastaman (2007) menyatakan bahwa makna hidup bersifat memberi pedoman dan arah. Makna hidup memberikan sebuah arahan terhadap kegiatan dan aktifitas keseharian dalam kehidupan sesorang. Makna hidup merupakan sesuatu yang identik dengan tujuan, hal itu akan menjadi sebuah titik tuju dalam kehidupan seseorang yang akan mengarahkan hidupnya dalam rangka menuju titik tujuan tersebut. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, individu akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan individu pun menjadi lebih terarah kepada pemenuhan itu.
Makna hidup melampaui intelektualitas manusia. Makna hidup tidak bisa hanya dicapai dengan usaha berpikir tanpa adanya usaha implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui sesuatu yang bermakna bagi kita perlu melalui proses intelektual. Namun, hal ini hanya merupakan sebuah pengetahuan belaka dan tidak memberi makna, ketika kita tidak menjalankan sebuah komitmen dan implementasi dari sesuatu yang kita anggap bermakna tersebut.
Hal ini pula yang menyebabkan Frankl merumuskan bahwa sumber-sumber dari makna hidup tidak hanya dicapai dengan sebatas usaha intelektual. Namun makna hidup dapat dicapai dengan menerapkan nilai-nilai dalam kehidupan. Nilai-nilai ini dianggap sebagai sumber makna hidup.
Nilai-nilai kehidupan yang dianggap sebagai sumber makna hidup antara lain: nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap (Booree, 2007).
b. Nilai-nilai Kreatif
Nilai-nilai kreatif merupakan nilai-nilai yang didapat dengan cara beraktivitas secara langsung terhadap suatu pekerjaan yang bisa membawa diri kita merasa bermakna. Pekerjaan ini tidak hanya terbatas pada pekerjaan yang bersifat formal dan menghasilkan uang, namun juga pekerjaan-pekerjan yang bersifat non-profit. Dalam sebuah pekerjaan, Frankl menekankan bahwa apapun pekerjaan itu dapat memberikan makna terhadap individu yang melakukannya.
Yang penting dalam aktivitas kerja bukanlah lingkup atau luasnya, melainkan bagaimana seseorang bekerja sehingga dia bisa mengisi penuh lingkaran aktivitasnya itu. Juga, tidak menjadi soal, apa bentuk aktivitas itu dan siapa yang melaksanakannya. Rakyat kecil atau orang kebanyakan yang secara sungguh-sungguh dan menjalankan tugas kongkret yang memungkinkan diri dan keluarganya hidup, terlepas dari fakta bahwa kehidupannya itu kecil, lebih besar dan lebih unggul dibanding dengan seorang negarawan besar yang menentukan nasib jutaan orang dengan goresan penanya, tetapi putusan-putusannya ceroboh dan membawa berbagai akibat buruk.
Namun disini yang perlu ditekankan bahwa pekerjaan itu sendiri terlepas dari makna, sehingga suatu pekerjaan tertentu tidak bisa menjamin pemenuhan makna. Lagi-lagi semua itu tergantung pada seseorang yang menjalaninya dan mempersepsi dari suatu pekerjaan itu. Dalam pembahasan berkenaan dengan nilai-nilai kreatif ini banyak ditekankan pada hal pekerjaan. Namun disini arah pembahasan Frankl tersebut lebih mengarah pada bagaimana seseoarang berkarya yang dirasa bermanfaat dan bermakna melalui pekerjaan yang dilakukan.
c. Nilai-nilai Penghayatan
Nilai-nilai penghayatan merupakan suatu kegiatan menemukan makna dengan cara meyakini dan menghayati sesuatu. Sesuatu ini dapat berupa kebenaran, kebajikan, keyakinan agama, dan keimanan. Frankl percaya bahwa seseorang dapat menemukan makna dengan menemui kebenaran, baik melalui keyakinan agama atau yang bersumber dari filsafat hidup yang sekuler sekalipun. Keyakinan beragama merupakan salah satu dari berbagai keyakinan yang dapat memberikan makna hidup.
Dalam keberagamaan orang dapat menemukan makna dan arti dalam kehidupannya. Tidak sedikit orang yang mencurahkan seluruh kehidupannya kepada agama. Selain itu orang-orang sekuler juga dapat menemukan makna di luar hal-hal yang bersifat agama. Seperti orang-orang yang berwatak sosialis, misalnya, mereka merasa menemukan makna dengan memahami filsafat materialis dan mengamalkan ajarannya. Ada juga orang yang dengan meyakini kebenaran-kebenaran universal dan menjalaninya seperti menolong sesama dan menjadi pekerja-pekerja sosial.
d. Nilai-nilai Bersikap
Nilai ini merupakan sikap yang diambil terhadap sebuah penderitaan yang tidak dapat dielakkan atau tak terhindarkan (inavoid moment). Hal ini bisa dalam bentuk kematian seseorang yang dicintai, penyakit yang tak dapat disembuhkan atau kecelakaan yang tragis. Dalam kehidupan sehari-hari mungkin hal ini sama halnya dengan takdir yang dikenal dalam masyrakat kita. Sikap-sikap yang dikembangkan dalam hal ini antara lain menerima dengan ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak dapat dielakkan.
Hal ini, menurut Frankl, bisa dilakukan karena manusia mempunyai kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri (self detachment). Dengan kemampuan ini manusia mampu menjadi hakim terhadap dirinya dan akhirnya bisa menetukan sikap yang tepat terhadap apa yang menimpanya. Ketika seseorang larut dalam sebuah keadaan tragis dan terus meratapinya, Ia cendrung menjadi sebagai objek dari sebuah keadaan dan tidak bisa melihat dan menarik diri serta menjadikan dirinya sebagai subjek yang mengambil kebijakan dalam hidupnya. Karena dengan kemampuan self detachment manusia bisa menjadi subjek sekaligus menjadi objek atas semua perbuatannya.
e. Dimensi Manusia dalam Logoterapi
Logoterapi memandang manusia mempunyai dimensi spiritual, selain dimensi fisik dan dimensi kejiwaan (Fabry, 1980). Dalam aliran-aliran psikologi seperti psikoanalisa dan behavior, spiritualitas sangat diabaikan. Psikoanalisa hanya menekankan pada aspek-aspek psikologis yang merupakan wujud dari tuntutan kebutuhan jasmani. Sedangkan behavior menekankan aspek fisik atau perilaku yang tampak.
Dalam pandangan logoterapi ketiga dimensi manusia ini (fisik, psikologis, dan spiritual) tidak boleh diabaikan dalam rangka memahami manusia seutuhnya. Dimensi spiritual dalam pandangan Frankl tidak selalu identik dengan agama. Setiap orang mempunyai dimensi spiritual sekalipun pada penganut atheis.
Dimensi spiritualitas dari manusia bersifat universal sebagaimana dimensi fisik dan psikologis. Frankl juga menyebut dimensi spiritual ini dengan “nootic” untuk menghindari term spiritual yang diidentikan dengan agama tertentu. Dimensi spiritual ini merupakan dimensi khas manusia dimana tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sebagai dimensi khas manusia, dimensi spiritual (nootic) ini terdiri dari kualitas-kualitas insani seperti hasrat akan makna, orientasi tujuan, iman, cinta kasih, kretivitas, imaginasi, tanggung jawab, self transcendence, komitmen, humor dan kebebasan dalam mengambil keputusan (Bastaman, 2007).
Kualitas-kualitas diatas memang merupakan kualitas insani yang khas manusia. Dalam kajian psikologi behavior dan psikoanalisa, aspek-aspek yang berkenaan dengan kualitas insani di atas tidak mendapatkan tempat. Dengan tetap mempertahankan metode positivistic, kualitas insani manusia terabaikan hanya dengan alasan bahwa aspek tersebut tidak termasuk dalam kajian bidang keilmuan yang bersifat empiris dan objektif.
f. Sindroma Ketidakbermaknaan
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), seseorang yang tidak menemukan makna hidup akan mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrom of meaninglessness). Sindroma ini terdiri dari dua tahapan yaitu kevakuman eksistensi (existential vacum) dan neurosis noogenik.
Kevakuman eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak terpenuhi. Gejala-gejala yang ditimbulkan dari kevakuman eksistensial ini antara lain perasaan hampa, bosan, kehilangan inisiatif, dan kekosongan dalam hidup. Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol pada masyarakat modern saat ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat modern yang sudah terlalu jauh meninggalkan hal-hal yang bersifat religi dan moralitas. Hal ini juga diakui para terapis yang berada di barat bahwa mereka sering menghadapi pasien dengan keluhan-keluhan yang menyangkut permasalahan yang terkait makna hidup seperti merasa tidak berguna dan perasaan hampa.
Untuk menunjukkan kemunculan fenomena tersebut, Frankl (Koeswara, 1992) menunjuk survei yang mengungkapkan bahwa 40% mahasiswa yang berasal dari Jerman, Swiss, dan Austria mengaku mengalami perasaan absurd, ragu akan maksud dan tujuan atau makna hidup mereka sendiri. Sedangkan para mahasiswa yang berasal dari Amerika Serikat mengalami hal yang sama dengan presentase 81%.
Frankl menekankan bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah penyakit dalam pengertian klinis. Frankl menyimpulkan bahwa frustasi eksistensi adalah sebuah penderitaan batin ketika pemenuhan akan hasrat untuk mempunyai hidup yang bermakna terhambat. Frankl menyatakan bahwa kevakuman eksistensial tersebut bermanifestasi dalam bentuk neurosis kolektif, neurosis hari Minggu, neurosis pengangguran dan pensiunan, dan penyakit eksekutif. Beberapa bentuk manifestasi ini gejalanya sama yaitu kebosanan dan kehampaan, namun terdapat pada kondisi, individu dan waktu tertentu.
Neurosis noogenik merupakan sebuah simptomatologi yang berakar kevakuman eksistensialis. Frankl menerangkan bahwa neurosis ini terjadi apabila kevakuman eksistensialis disertai dengan simptom-simptom klinis. Disini permasalahan patologis tersebut berakar pada dimensi spiritual dan noologis yang berbeda dengan neurosis somatogenik (neurosis yang berakar pada fisiologis) maupun neurosis psikogenik (neurosis yang berakar pada permasalahan psikologis. Menurut Frankl neurosis noogenik itu sendiri dapat timbul dengan berbagai neurosis klinis seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan.
Orang yang mengalami kehampaan dan kekosongan hidup mungkin lari kepada alkohol dan narkoba dalam rangka mengisi kekosongan hidup tersebut. Kasus alkoholik dan narkoba yang berakar pada permasalahan kevakuman eksistensialis inilah disebut dengan neurosis noogenik (Koeswara, 1990).

B. Terapi Logoterapi
1. Intensi Paradoksikal
Teknik intensi paradoksikal merupakan teknik yang dikembangkan Frankl berdasarkan kasus kecemasan antispatori, yaitu kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi individu atas suatu situasi atau gejala yang ditakutinya (Koeswara, 1992).
Intensi paradoksikal adalah keinginan terhadap sesuatu yang ditakuti. Landasan dari intensi paradoksikal adalah kemampuan manusia untuk mengambil jarak atau bebas bersikap terhadap dirinya sendiri (Boeree, 2007). Frankl (dalam Koeswara, 1992) mencatat bahwa pola reaksi atau respon yang biasa digunakan oleh individu untuk mengatasi kecemasan antisipatori adalah menghindari atau lari dari situasi yang menjadi sumber kecemasan.
Contohnya, individu yang menghindari eritrofobia selalu cemas kalau-kalau dirinya gemetaran dan mandi keringat ketika berada di dalam ruangan yang penuh dengan orang. Kemudian, karena telah ada antisipasi sebelumnya, individu benar-benar gemetaran dan mandi keringat ketika dia memasuki ruangan yang penuh dengan orang. Individu pengidap eritrofobia ini berada dalam lingkaran setan. Gejala gemetaran dan mandi keringat menghasilkan kecemasan, kemudian kecemasan antisipatori ini menimbulkan gejala-gejala gemetaran dan mandi keringat. Jadi gejala antisipatori mengurung individu di dalam kecemasan terhadap kecemasan (Koeswara, 1992).
2. Derefleksi
Derefleksi merupakan teknik yang mencoba untuk mengalihkan perhatian berlebihan ini pada suatu hal di luar individu yang lebih positif. Derefleksi memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang ada pada manusia. Dengan teknik ini individu diusahakan untuk membebaskan diri dan tak memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Dengan berusaha mengabaikan keluahannya, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala hyper intention akan menghilang (Bastaman, 2007).
Pasien dengan teknik ini diderefleksikan dari gangguan yang dialaminya kepada tugas tertentu dalam hidupnya atau dengan perkataan lain dikonfrontasikan dengan makna. Apabila fokus dorongan beralih dari konflik kepada tujuan-tujuan yang terpusat pada diri sendiri, maka hidup seseorang secara keseluruhan menjadi lebih sehat, meskipun boleh jadi neurosisnya tidak hilang sama sekali.
3. Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani adalah metode yang khusus digunakan terhadap pada penanganan kasus dimana individu berada pada penderitaan yang tidak dapat terhindarkan atau dalam suatu keadaan yang tidak dapat dirubahnya dan tidak mampu lagi berbuat selain menghadapinya (Koeswara, 1992).
Pada metode ini, individu didorong untuk merealisasikan nilai bersikap dengan menunjukkan sikap positif terhadap penderitaanya dalam rangka menemukan makna di balik penderitaan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar